Tidakkah kau hanya ingin terkapar di antara rak buku,Â
halaman yang menghadap laut
atau puncak yang membelakangi kota-kota?
Sebab payah dan terus merosot.
Kamu membutuhkan keheningan menggelegar di rongga sadar.
Peristiwa yang pernah datang, tertanam, bercabang-cabang, patah tumbuh dan menjadi luka tiba-tiba bercerita dengan telanjang. Apa yang terdiam sedemikian lama, tenggelam dalam riuh dusta, memaksa didengar dengan sederhana.Â
Peristiwa, ambisi dan kemalangan-kemalanganmu.
Kau kangen berbicara dengan seseorang di dalam dirimu. Diri yang selalu harus kaupeluk tapi dunia terlanjur merampasnya sejak kamu mengeja huruf, mengenali angka-angka juga ingin menjadi manusia.
Dunia yang bekerja dan menjadikan dirimu mesin pemburu mimpi-mimpimu sendiri. Dunia yang hanya bisa mengutuk kekalahan dan kecemasanmu sesudah kau memberikan segala kepadanya.
Berbahaya!
Tapi dunia mengajarimu bahagia dengan jalan absurd begitu. Bahkan menuntut dirimu berdamai dengan segala keberterimaan akan tragedi. "Ini ujian. Baru permulaan kecil," katanya sering. "Setiap orang ada masanya, setiap masa ada pecundangnya," katanya lagi. Kau beriman penuh padanya, hati dan pikiranmu berdoa demi restunya.
Sudahkah memeluk absurditasmu setiap pagi?
**