“Kita hanya manusia, tidak ada hubungan yang sempurna.”- Dilan
Kemarin hari, saya memutuskan pergi dan menjadi barisan depan dari penonton "Milea: Suara dari Dilan" yang tayang perdana. Saya adalah satu yang menyumbang angka 404.000 penonton itu jika mengacu ke rekapitulasi Cinemax XXI. Saya juga adalah salah satu yang tidak membaca novelnya.
Tapi saya tidak sendiri. Bersama tiga orang kawan, kami senyap di dalam bioskop CGV, Transmart. Hari mulai sore, di luar hujan dan memang tidak ada urusannya dengan triologi ini.
Penting untuk mengetahui jika profil tiga orang kawan ini memiliki background nostalgia masa remaja yang berbeda.
Kawan yang pertama, adalah kelahiran 80-an seperti saya sedang dua sisanya kelahiran 90-an akhir. Kami terbagi dalam dua generasi. Yang mengalami masa remaja 90-an karena itu juga relatif mudah tersambung (baca: tersentuh, uwuwuw) dan yang mengalami masa remaja sesudah demam drama Korea.
Maksud saya, ketersambungan/ketidaksambungan nostalgis itu adalah kondisi psiko-kognitif bahan baku kesadaran yang menentukan. Ia menentukan sedalam apa sekuel terbaru dari riwayat percintaan Dilan-Milea berhasil membawa penonton ke masa lalu atau justru penonton menjadi asing di dalamnya. Sedalam apa penonton menemukan dirinya di sana.
Bagaimana menguji "ketersambungan/ketaktersambungan" yang lampau dengan yang kini di kepala ini?
Sederhana saja. Sesudah keluar dari gedung bioskop, saya bertanya pada kawan yang lahir sesudah masa remaja telpon umum koin. "Apa hal paling menarik dari film barusan?"
"Laki-laki ternyata tidak sekuat itu. Kelihatannya saja pemimpin geng motor, padahal..."
Klise. Iya. Jawaban khas seorang perempuan. Dan, memang sepanjang film 103 menit, kita dibawa menelusuri ruang batin Dilan yang berusaha terlihat konsisten dengan sikap-sikapnya yang "laki banget itu". Seperti misalnya, bersetia dengan kata-kata: siapa yang menyakiti Milea, haruslah hilang dari muka bumi.