Masuk kelas jangan kayak kertas kosong! - Hans Weku
Saya sudah lama ingin menulis begini. Menulis dengan penuh rasa hormat dan rindu.Â
Terutama kepada orang-orang yang membenturkan pikiran bahkan keyakinan terhadap banyak hal, yang dari situ saya menemukan diri sendiri yang tidak pernah selesai. Orang-orang inilah yang pantas menjadi guru-dalam arti formal pun tidak-dalam perjalanan hidup yang tak seberapa ini.
Salah satu dari tidak banyak orang itu adalah kepada seorang Pendeta Protestan; seorang Minahasa yang bersahaja; seorang sosiolog dari tradisi Weberian yang ketat.Â
Beliau bernama Pendeta Hans Weku.Â
Saya harus menunjukan satu latar belakang singkat agar kehadiran sosok ini terasa begitu mengakar.Â
Saya adalah seorang dari Papua. Datang ke Manado, menempuh studi di Fisipol Jurusan Sosiologi sesudah lulus UMPTN. Saya tidak menyangka bisa lulus dan lebih parah dari itu, saya tidak pernah sungguh-sungguh paham mengapa memilih sosiologi.
Sedikit latar belakang ini sudah pernah dikisahkan dalam tulisan berjudul Peter Berger dan Sosiologi Penderitaan yang Menyelamatkan.
Intinya, saat itu saya berangkat dengan kecemasan: mau jadi apa di masa depan? Bisa menghasilkan duit, gak?Â
Jadi, dengan pikiran-pikiran sederhana dan kecemasan-kecemasan yang tidak sepenuh dikenali, saya pergi menemui guru-guru SMA saat itu.