(1)
aku tidak memahami puisi sampai hari ketika aku berbicara dengan kecemasanku. sambil merasa kau sedang mendengarkan baik-baik di sebelahnya. merasa kau juga bergembira, seperti seorang ibu melihat anaknya memiliki kembali keceriaan sesudah koma panjang. matamu basah, tetapi kata-kata masih bisa berdiam menahan kesaksian dan kesanggupan.Â
ada getar bekerja. kau tiba-tiba gemetar.
aku lupa bahwa jatuh cinta mudah membuat manusia melampaui.Â
(2)
setiap hati, selalu ada rindu yang tanpa ampun katamu atau cemburu yang keliru. tetapi memang seperti itulah merasa segalanya, seharusnya memang tidak diantarai omong kosong orang-orang bijak! atau dikurangi dari orang-orang yang berfilsafat. Ini kata-katamu juga.
aku mengambil selembar kertas bekas dan menulis dengan kapital: MENGAPA?
(3)
bagaimana dengan belajarlah melihat dunia dari mereka yang jatuh cinta tapi tidak ingin apa-apa selain tidak melupakannya selama mungkin?
kau cuma mengambil sebongkah bata, melempar almari dengan cermin menyala. Prang! kacanya pecah dan kau melihat bayangmu berkeping-keping, bercerai dan berdarah. Hanya ada luka, tak ada yang bisa kembali semula.
(4)
aku tidak memahami puisi sampai kau berdarah dan aku berkeping-keping di matamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H