Film berdurasi 112 menit ini mengambil periode sejarah kota yang agak ke belakang. Pada riwayat kota kecil dimana ada beberapa keluarga ningrat dengan hidup terpisah dalam rumah megah, halaman yang luas namun memelihara pengawasan yang penuh terhadap warga kota. Kelas ninggrat yang merupakan representasi dari kekuasaan sebagai pusat yang mengirimkan mimpi kepada warga kota sekaligus menjaga pendisiplinan sosialnya.
***
Adalah Florence Green, yang sederhana, manis dan anggun. Florence hanyalah perempuan yang mencintai membaca buku dan jatuh cinta pada pandangan pertama dengan suaminya di toko buku. Perang kemudian datang dan suaminya mangkat. Florence menjanda selama 16 tahun.
Di kota Hardborough, sebuah kota imajiner, Florence ingin menjadikan rumah tua warisan mendiang suaminya sebagai toko buku. Tidak ada alasan emansipatif di sini jika yang kau bayangkan dari toko bukunya lahir perlawanan warga terhadap kontrol kaum ningrat karena  membeli buku karangan Lenin, Trotsky atau Tan Malaka dan Mao Tse-tung dari dunia ketiga.
Florence lebih menyukai susastra, sesuatu yang lembut. Dan ia percaya, ia mungkin sendiri saja namun buku membuatnya tidak pernah kesepian. "Kau tidak pernah sendiri di toko buku," begitu pesannya kepada Christine kecil. Â Â
Di kota yang memiliki pelabuhan kecil ini, ada dua keluarga ningrat. Yang pertama adalah ningrat dengan perempuan yang menjadi porosnya, Violet Gamart bersuamikan seorang jendral. Sedangkan yang kedua, duda bernama Edmund Brundish, hidup dengan menghabiskan waktu kepada membaca, membaca dan membaca saja.
Dua keluarga ningrat yang sudah sepuh.
Masalah muncul ketika ide membuat toko buku itu akhirnya menjadi percakapan warga lalu sampai ke telinga Violet. Violet berencana menguasai rumah tua tersebut dan menjadikannya pusat seni. Rencana yang secara verbal telah disampaikannya kepada Florence pada sebuah pestanya. Sebuah kehendak yang diperkuat dengan dalil demi kepentingan umum.
Kita tahu, meletakkan dalih demi kepentingan umum seperti ini adalah senjata populistik yang seringkali menyamarkan nafsu akumulasi sedikit orang di dalamnya. Sebaliknya, ide toko buku Florence adalah bentuk komersialisasi yang telanjang.
Dan kita semestinya tahu, tipikal ningrat seperti Violet dan suaminya sejatinya menyimpan keresahan. Mereka selalu terpenjara dalam perasaan tidak nyaman dengan lingkungan pengaruhnya sendiri. Sebagaimana halnya ketika toko buku kecil milik janda korban perang mulai menciptakan keramaian kecil yang sebelumnya tidak ada.
Violet sangat mungkin tidak ingin ada perempuan lain, bukan saja jauh lebih muda dan anggun, namun juga boleh membuat kota ini memiliki "pusat pengaruh" yang baru.