Di tubuh itu, ada weker yang hidup. Di detak-detik-datuknya, ada kenangan bergulung-gulung. Dari anak-anak kisah dan persilangan kesedihan.Â
Subuh tadi ia terjaga dengan keringat dingin di tengkuknya, sesudah pulang dari sebuah kota-dari sesamar mimpi.Â
Menemukan namamu dalam kotak kaca berwarna jingga, tertulis besar-besar sebagai pernyataan keberhasilan. "Aku telah menunaikan tugas maha bijaksana. Meneliti hidup sendiri dan menemukan metode mencintai rasa sakit!"Â
Subuh kemarin, ia terjaga dari nafas terengah-engah. Serasa baru bebas dari peti, pucat dan bersedih.Â
Sepasang mata paling bertahan di keluh kesahnya seketika berpendar melukis langit-langit. Dalam masa paling kalut, mata itu-matamu adalah suluk. Yang menyibak rahasia paling segala di matanya: ada seorang bocah laki-laki yang lelah dikutuk.
Subuh kemarin dulu, ia membaca lembar-lembar yang lepas dari catatan perpisahan.
Melihat namanya tertulis berulangkali layaknya peristiwa berbahaya. Perihal sejenis rindu yang berterima kasih tapi menolak bertemu lagi. Nama yang kini pergi dari peristiwa hari ini.
Sebuah weker terus hidup dalam tubuhnya. Sejak waktu menggulung perempuan itu ke dalam doa.Â
2018
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H