Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Epos Raja Arthur dalam "Imajinasi Progresif" Guy Ritchie

6 September 2018   08:08 Diperbarui: 6 September 2018   21:32 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca riwayat Raja Arthur dalam media sinema tentu harus menyadari "relasi antarteks". 

Yakni dengan melihat Raja Arthur dalam legendanya yang terus hidup samar-samar di kesadaran bersama manusia Inggris. Kisah Raja Arthur mula-mula muncul dalam buku "History of Britons" karangan Nennius (830 M). Sampai sekarang, keberadaan Raja yang dikisahkan memiliki pedang hebat Excalibur, beraliansi dengan penyihir Merlin dan menegakkan wibawa kerajaan-kerajaan Anglosaxon ini, belum absah secara empiris.

Yang kedua, menyadari jika kisah penguasa kharismatik yang satu ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa film. Setidaknya, di tahun 1917 telah ada kisah Arthur dalam judul Knights of the Square Table yang disutradarai Alan Crosland. Sedangkan di periode yang paling dekat sebelum Legend of The Sword, ada tiga film yang dibuat dan dibintangi nama-nama tenar. 

Pertama, tahun 1981, Excalibur dibintangi Liam Neeson. Lalu tahun 1985, First Knight dibintangi oleh Richard Gere dan tahun 2004 , King Arthur yang dibintangi Clive Owen. Ini belum termasuk yang dibuat ke dalam serial televisi dan film kartun.

Oleh sebab status historisnya yang kental dengan legenda--artinya sosok Arthur dipelihara oleh mitos-mitos dan glorifikasi--maka tafsir atasnya yang diterjemahkan ke dalam medium sinema tidak memiiki "kaidah obyektifitas" tertentu. Sebab sejatinya riwayat Arthur adalah "konsep yang kosong".

Artinya, apa yang dimaknai sebagai legenda Raja Arthur bukan saja tergantung "imajinasi dan sudut pandang sinematik sutradara dan penulis naskah", namun juga yang tak kalah penting adalah: bagaimana sutradara mengontekstualisasikan tafsirnya ke dalam "hidup kekinian".

Di persilangan imajinasi, sudut pandang dan kontekstualisasi kekinian, King Arthur-nya Ritchie ditampilkan lebih progresif. Lebih khusus pada perkara bagaimana pemimpin alternatif diproduksi bersamaan dengan senjakala sebuah rezim.  

Bagaimana persisnya?

Demistifikasi dan Re-Invensi Arthur

Secara umum, kisah Arthur versi Ritchie dapat dipilah dalam dua periode, pra dan paska-pemberontakan. 

Dalam masa pra-pemberontakan, ada empat momen/peristiwa penting dalam hidup Arthur yang dikonstruksi oleh Ritchie. Momen pra-pemberontakan inilah yang menjadi inti dari seluruh film. Sisanya hanyalah happy ending.

Pertama, Arthur kecil dikisahkan sebagai anak yang lahir dalam "momen tragis'. Tragika yang dibentuk dari pembunuhan ayah (raja Uther) dan ibunya oleh Vortigern, paman yang ambisus dan menjalankan segala cara demi merebut tahta. Vortigern bersekutu dengan geng penyihir jahat yang memfasilitasi dirinya menjadi "adimanusia" lewat ilmu hitam.

Arthur kecil yang kemudian meloloskan diri dengan perahu dan ditemukan beberapa perempuan pekerja rumah pelacuran di Londonium (London zaman itu). Ia hidup bersama "ingatan tragis" yang setiap saat menjadi mimpi buruk yang tak pernah dimengertinya hingga bertemu dengan penyihir dan loyalis ayahnya. 

Ingatan atas tragedi ini, secara psikis, adalah "katup penghambat sekaligus pembebas" bagi Arthur yang memiliki trah raja dan pewaris kehebatan pedang Excalibur. Kondisi inilah yang menjadi medan perjuangan pertama Arthur yang jelata menuju Arthur yang Raja.

Kedua, Arthur dalam momen "pembentukan karakter politik", telah terdidik dalam lingkungan jelata yang mengajarkan hidup yang bersaing (dengan geng Viking) dan membangun persekutuan (dengan grup 'Gladiator'). Termasuk membangun persekutuan dengan tangan-tangan kerajaan untuk menjalankan operasi bisnis pelacuran dan premanisme. Arthur tampak seperti Godfather kecil di Londonium.

Dalam masa-masa ini, Arthur mengasah bakat dan strategi berkuasanya.

Artinya, asal-usul pemimpin adalah persilangan Nature dan Nurture Theory, antara bakat dan bentukan lingkungannya. Persilangan proses yang membentuk karakter si subyek dan juga membuatnya berada dalam sistem representasi yang diterima semua orang (terlegitimasi). Sederhananya, Arthur menjadi wakil dari suara-suara ketertindasan sekaligus yang akan menghancurkannya.

Ketiga, momen "mencapai pembebasan dari kutukan ingatan tragik". Momen ini diceritakan terbentuk sesudah kemunculan penyihir dan para loyalis raja Uther yang "menyiapkan perlawanan bawah tanah" semasa Vortigern berkuasa. Penyihir dan loyalis-lah yang menuntun Arthur untuk menerima tragedi itu sebagai rasa sakit yang menjadi energi perjuangan menyelamatkan rakyat dan kerajaan dari ambisi pamannya yang dikendalikan kekuatan hitam.

Di momen pembebasan ini, Arthur harus "menghancurkan dirinya yang lama agar melahirkan kapasitas subyek yang baru", sebagaimana tergambar dalam perdebatan si penyihir dan sir Bedivere. 

Untuk bebas, Arthur harus membawa pedang Excalibur ke altar di Daratan Kelam dimana ia akan diuji oleh serangan makhluk jadi-jadian yang membuatnya berada dalam ketegangan antara hidup dan memilih mati. 

Teori pembebasan diri seperti ini mengingatkan saya pada filsafat subjek dari Slavoj Zizek, salah satu filsuf yang sedang ngetop asal Slovenia. Slavoj Zizek sekarang ini mengajar di salah satu kampus di Inggris.

Zizek menyusun satu proyek rekonstruksi subyek dalam semangat emansipasi dalam kerangka neo-Marxisme. Dengan menggunakan psikologi Lacan dan filsafat Hegel, ia tiba pada salah satu kesimpulan filosofis di atas. Tentu saja, alur berpikir Zizek tidak sesederhana narasi yang ditunjukan oleh Ritchie dalam film ini.

Keempat, "momen menyusun strategi dan aliansi". Pada bagian ini, Arthur dikisahkan memimpin rapat bersama para loyalis dari kaum bangsawan dan jelata (ex-warga pelacuran dan sekitarnya). Saat bersamaan, namanya telah menjadi katalisator yang memicu pemberontakan-pemberontakan kecil yang menimbulkan efek delegitimasi dan keresahan di istana pamannya.

Beberapa keputusan strategis lahir dari rapat itu dan bukan karena kharisma Arthur. Para partisipan pemberontakan berasal dari macam-macam posisi kelas yang telah berhimpun ke dalam "blok historis" Arthur. 

Aliansi politik ini turut didorong oleh "realitas penindasan yang total" alias semua orang telah menderita, lelah dan muak di bawah kekuasaan pamannya. Yang mau saya katakan adalah pluralitas partisipan seperti ini seolah memberi kita gambaran tentang ide-ide dari demokrasi deliberatif.

Empat momen penting pra-pemberontakan yang ditampilkan Ritchie menunjukan bahwa legenda Arthur, bukan saja ditanggalkan dari elemen-elemen mistis alias yang supramanusiawi. Sebaliknya, selalu ada momen-momen psikis, sosiologis dan politis yang melahirkan pemimpin besar. Karena itu, apa yang disebut yang legendaris hanyalah ada sejauh ia historis.

Maksud saya, Ritchie sebenarnya sedang melakukan demistifikasi sekaligus re-invensi terhadap legenda Raja Arthur.

Dengan kata lain, Ritchie memasukkan elemen-elemen rasional yakni teori-teori psikologi, sosiologi, politik dan filsafat emansipasi ke dalam tubuh cerita raja Arthur. Demistifikasi plus re-invensi yang dilakukan adalah untuk melahirkan kepemimpinan Arthur yang "lebih nyambung" dengan perkembangan kesadaran kekinian ilmu politik.

Sayangnya, satu elemen mistis yang belum bisa didekonstruksi Ritchie adalah keberadaan penyihir dan pedang Excalibur. Atau barangkali, kita harus melihat ini sebagai kondisi yang disengaja. 

Yakni demi menjelaskan yang rasional tidak selalu menjadi sebab utama perubahan. Selalu ada kekuatan-kekuatan "supra-rasional" yang terlibat dalam pencapaian takdir sejarah tertentu.

***

*) Sebelumnya pernah tayang di Ngawursiana alias Penatajam. Dimuat di sini demi melengkapi pengarsipan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun