Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Epos Raja Arthur dalam "Imajinasi Progresif" Guy Ritchie

6 September 2018   08:08 Diperbarui: 6 September 2018   21:32 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film King Arthur: Legend of the Sword (2017) | IMDB

Pertama, Arthur kecil dikisahkan sebagai anak yang lahir dalam "momen tragis'. Tragika yang dibentuk dari pembunuhan ayah (raja Uther) dan ibunya oleh Vortigern, paman yang ambisus dan menjalankan segala cara demi merebut tahta. Vortigern bersekutu dengan geng penyihir jahat yang memfasilitasi dirinya menjadi "adimanusia" lewat ilmu hitam.

Arthur kecil yang kemudian meloloskan diri dengan perahu dan ditemukan beberapa perempuan pekerja rumah pelacuran di Londonium (London zaman itu). Ia hidup bersama "ingatan tragis" yang setiap saat menjadi mimpi buruk yang tak pernah dimengertinya hingga bertemu dengan penyihir dan loyalis ayahnya. 

Ingatan atas tragedi ini, secara psikis, adalah "katup penghambat sekaligus pembebas" bagi Arthur yang memiliki trah raja dan pewaris kehebatan pedang Excalibur. Kondisi inilah yang menjadi medan perjuangan pertama Arthur yang jelata menuju Arthur yang Raja.

Kedua, Arthur dalam momen "pembentukan karakter politik", telah terdidik dalam lingkungan jelata yang mengajarkan hidup yang bersaing (dengan geng Viking) dan membangun persekutuan (dengan grup 'Gladiator'). Termasuk membangun persekutuan dengan tangan-tangan kerajaan untuk menjalankan operasi bisnis pelacuran dan premanisme. Arthur tampak seperti Godfather kecil di Londonium.

Dalam masa-masa ini, Arthur mengasah bakat dan strategi berkuasanya.

Artinya, asal-usul pemimpin adalah persilangan Nature dan Nurture Theory, antara bakat dan bentukan lingkungannya. Persilangan proses yang membentuk karakter si subyek dan juga membuatnya berada dalam sistem representasi yang diterima semua orang (terlegitimasi). Sederhananya, Arthur menjadi wakil dari suara-suara ketertindasan sekaligus yang akan menghancurkannya.

Ketiga, momen "mencapai pembebasan dari kutukan ingatan tragik". Momen ini diceritakan terbentuk sesudah kemunculan penyihir dan para loyalis raja Uther yang "menyiapkan perlawanan bawah tanah" semasa Vortigern berkuasa. Penyihir dan loyalis-lah yang menuntun Arthur untuk menerima tragedi itu sebagai rasa sakit yang menjadi energi perjuangan menyelamatkan rakyat dan kerajaan dari ambisi pamannya yang dikendalikan kekuatan hitam.

Di momen pembebasan ini, Arthur harus "menghancurkan dirinya yang lama agar melahirkan kapasitas subyek yang baru", sebagaimana tergambar dalam perdebatan si penyihir dan sir Bedivere. 

Untuk bebas, Arthur harus membawa pedang Excalibur ke altar di Daratan Kelam dimana ia akan diuji oleh serangan makhluk jadi-jadian yang membuatnya berada dalam ketegangan antara hidup dan memilih mati. 

Teori pembebasan diri seperti ini mengingatkan saya pada filsafat subjek dari Slavoj Zizek, salah satu filsuf yang sedang ngetop asal Slovenia. Slavoj Zizek sekarang ini mengajar di salah satu kampus di Inggris.

Zizek menyusun satu proyek rekonstruksi subyek dalam semangat emansipasi dalam kerangka neo-Marxisme. Dengan menggunakan psikologi Lacan dan filsafat Hegel, ia tiba pada salah satu kesimpulan filosofis di atas. Tentu saja, alur berpikir Zizek tidak sesederhana narasi yang ditunjukan oleh Ritchie dalam film ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun