Aku memang suka mencatat apa yang orang-orang pikirkan.Â
Orang-orang yang hidup dari pinggiran, yang mengalami keberlimpahan lalu terhempas ke dasar keterpurukan nasibnya. Kemudian menemukan diri mereka dalam nostalgia atau kemuraman hari ini.Â
Maksudku, orang yang menghadapi kekinian dengan pikiran yang menjalar ke belakang. Tidak banyak yang boleh melampauinya.
Kehilangan Pertama
Hanya ada sungai, hutan dan harapan-harapan yang dia pelihara pada sepetak kebun. Dengan perahu dan sisa tenaga masa tua yang masih bergeliat di balik kulitnya yang legam dan senyum ramahnya yang ompong, ia menghabiskan pagi hingga sorenya.Â
Aku beberapa kali mampir di gubuknya dan bercakap-cakap perihal apa yang dirinya pikirkan. Serta mencari tahu bagaimana ia boleh bangkit dari perasaan terpuruk.Â
Tetapi, lelaki ini berbeda. Ia hanya sekali bercerita siapa dirinya di masa dahulu. Di masa zaman berlimpah: zaman kayu diburu sebagai emas hijau tanpa ada pembatasan, larangan apalagi hukuman.Â
"Keluarga saya di desa itu. Tapi sudah lama sekali yang pindah ke sini. Saya makin jarang mudik sejak menikah dan memiliki anak-anak."
Aku ingat desa yang disebutnya, masih satu aliran sungai saja. Desa itu memiliki masa lalu yang tragis. Penduduknya pernah hampir punah karena wabah, mungkin diare. Mereka adalah generasi perintis kampung yang kemudian pindah ke bagian yang lebih ke hulu. Â Ini cerita sebelum ada negara dan pembangunan.Â
Sedang di zaman berlimpah, desa ini menjadi salah satu satelit dari transaksi kayu dan hilir mudik orang-orang yang memperjuangkan hidup atau justru menghambur-hamburkan kesenangan. Dia adalah saksinya. Saksi sejarah yang tidak ingin bicara mengenai apa-apa yang sudah. Â