Orang dewasa tidak pernah benar-benar dewasa bila tidak memahami keseriusan bocah bermain. Nietzsche pernah bilang seperti ini.
Bocah laki-laki itu menyanyikan Indonesia Raya dengan air mata yang lepas. Dia bersungguh-sungguh dalam keharuannya.
Ketika lagu kebangsaan ini berakhir, temannya di sebelah seperti bertanya, "Kamu kenapa? Kok nangis?" Tapi ia tidak menjawab.Â
Seperti mengatakan, keharuan yang ku rasakan bukanlah suasana yang harus dipercakapkan. Bukankah jamak terjadi, keharuan yang tulus adalah kawan dari nasib dalam sajak Chairil Anwar: yang memiliki kesunyian masing-masing.
Momen ini terjadi sebelum timnas Indonesia U-23 menghabisi Hongkong di putaran grup. Saya terdiam dan mata ikutan basah. Lalu memberi standing applause.Â
Ada rasa yang hilang, yang pernah tumbuh di masa lalu lantas tergulung oleh perjalanan ingatan dan peristiwa. Sesuatu itu adalah keharuan yang tulus, yang tiba-tiba membuncah, menyesak di dada, manakala lagu kebangsaan memenuhi udara tanpa konsepsi yang rumit lagi pelik.Â
Saya ingat hidup sendiri, berpuluh tahun di belakang, di sebuah masa berseragam biru-putih. Selalu bersemangat di depan kumandang Indonesia Raya.
Kala itu, di sebuah perkampungan padat multi-etnik di salah satu sudut Abepura. Perkampungan itu bernama Youtefa. Perkampungan yang dihuni oleh orang-orang dari Tenggara Sulawesi, Utara Sumatera, Madura, dan Jawa serta Papua. Â
Waktu itu, Aples Gideon Tecuari bersama Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti dan Kurnia Sandi sedang ngetop-ngetopnya. Mereka adalah pasukan muda yang dikader dengan kultur sepak bola Italia. Waktu itu juga, antena parabola masihlah barang yang langka.
Pada malam itu, kami dipersatukan oleh patriotisme sepak bola.
Mengapa keharuan bocah lelaki ini menjadi spesial? Menjadi berharga bagi saya atau mungkin kalian? Iya, kita yang belum mampu jeda menjadi orang dewasa menjengkelkan karena polarisasi politik.Â