Dalam beberapa hari ke depan, bioskop Cinema XXI mungkin akan menayangkan film berjudul Mark Felt: The Man Who Brought Down the White House (2017).
Film yang disutradarai Peter Ladesman, sosok yang sama di balik film Concussion yang menceritakan perjuangan Dr. Bennet Omalu. Omalu adalah seorang Nigerian-Amerika, meneliti penyakit otak yang menyerang para pemain National Football League (NFL) atau populer sebagai sepak bola Amerika. Serangan mengerikan yang berusaha ditutupi oleh kuasa modal dalam olahraga paling populer di negeri Paman Sam itu.
Kali ini Ladesman membuat film biopic bergenre politik-intelijen tentang sosok yang berpuluh tahun disamarkan identitasnya sebagai "Deep Throat" alias sumber anonim dari dalam tubuh FBI yang memasok informasi kepada investigasi Bob Woodward dan Carl Bernstein, dua orang wartawan Washington Post. Kerja investigatif yang membongkar skandal Watergate di era presiden Nixon, lantas dimuat dalam buku berjudul "All the President's Men" yang terbit pertama kali tahun 1974. Buku ini adalah salah satu bacaan wajib bagi pegiat jurnalisme investigasi. Â
Baru pada tahun 2005, kepada majalah Vanity Fair, Felt mengatakan, "I'm the guy they used to call Deep Throat."Â
Sang sumber itu telah wafat pada usia 95 tahun, tiga tahun sesudah pengakuannya. William Mark Felt nama lengkapnya. Lahir tahun di tahun 1913, 17 Agustus. Sesudah meraih gelar sarjana muda tahun 1935, Felt pindah ke Washington dan bekerja pada senator James Pope dari partai Demokrat. Karirnya di FBI dimulai pada 26 Januari 1942. Tahun-tahun awalnya di FBI dihabiskan dengan tugas lapangan, sebagaimana keterangan yang bisa dibaca pada laman biography.com.
Mark Felt adalah petinggi FBI yang merupakan generasi awal keberadaan FBI sebagai badan intelijen domestik. Generasi yang dikader oleh J. Edgar Hoover (1895-1972). Hoover adalah pendiri sekaligus direktur utama FBI yang dikenal mengembangkan mekanisme pengawasan kepada simpatisan komunis atau gerakan-gerakan perlawanan yang dipandang mengacaukan stabilitas Amerika Serikat alias "kaum subversif". Hoover bahkan menulis buku berjudul Masters of Deceit: The Story of Communism in America and How to Fight It(1958).Felt tumbuh dalam garis paradigma spionase yang seperti ini.
Tim Weiner di  The New York Times, menyebut Felt memainkan dua peran kunci di balik kejatuhan presiden Nixon. Pertama, terkait skandal Watergate, sebagai informan rahasia yang terus menyuplai informasi kepada insan pers (salah satu petunjuk kunci yang diberikan Felt kepada Woodward dan Bernstein ketika mereka dihadang jalan buntu dikenal dengan istilah "Follow the Money"),  sedangkan kedua, melawan kehendak Nixon dan lingkaran dalamnya menghentikan investigasi terhadap jaring kompleks operasi kotor dalam menghancurkan lawan-lawan politiknya.Â
Watergate Scandal dipicu oleh tertangkapnya lima orang di kantor Komite Nasional Partai Demokrat (Democratic National Committee) yang terletak di kompleks Watergate, Washington D.C pada 17 Juni 1972. Kelima orang ini merupakan bagian dari operasi penyadapan dan pencurian dokumen di kantor milik Demokrat. Kemudian diketahui terafiliasi dengan CIA serta Komite Pemilihan Kembali presiden Nixon atau dikenal dengan Committee to Re-elect the President (CREEP).Â
Pada karya Ladesman kali ini, kita coba diajak melihat kisah Mark Felt yang menolak tunduk pada intervensi White House. Hal mana terlihat dari perintahnya untuk membakar arsip-arsip Hoover, sosok yang melakukan banyak sekali pengawasan domestik kepada para simpatisan komunis atau pun pejuang hak-hak sipil serta aktivis antiperang. Selanjutnya, tentu saja, penolakannya terhadap rencana penghentian penyelidikan skandal Watergate.Â
Dengan kata lain, film Mark Felt berkisah tentang aktor intelektual yang berusaha menegakan daulat FBI di depan kehendak kekuasaan Nixon yang berusaha memenangkan jabatan presiden kedua kali. Kemenangan yang harus dicapai dimana saat bersamaan, pemerintah Nixon tengah berada dalam "krisis legitimasi" paska-kekalahan dalam perang Vietnam dan perlawanan-perlawanan politik dari dalam rumah.