Tahun 1930-an. Sebuah kereta mewah melaju meniti rute dengan pemandangan perbukitan yang sedang diselimuti salju.
Hercule Poirot memegang sebingkai foto yang lusuh di kamarnya. Beberapa bagian kaca yang menutupnya retak. Sebuah foto hitam putih yang mengabadikan wajah perempuan terlindungi di dalamnya. Foto Katherine yang dikasihinya.Â
Kepada foto Katherine, Poirot menyampaikan kegundahan. Kasus pembunuhan dalam kabin kereta membawanya ke dalam buntu. Poirot gagal menemukan retak dari induksinya atas kumpulan fakta dan kesaksian. Tidak ada yang lebih mencemaskan bagi seseorang dengan kepercayaan yang tinggi pada penalaran dan pembuktia logis yang membuatnya menjadi detektif terkenal seantero jagad.
Satu-satunya pintu menuju terang adalah tragedi yang menimpa keluarga Kolonel Amstrong. Dimulai dari penculikan Daisy, anak perempuan mereka oleh Samuel Ratchett yang dulunya bernama John Cassetti. Cassetti lolos dari penegakan hukum. Seorang asisten rumah tangga menjadi terdakwah yang tidak bersalah.Â
Pengusaha yang sinis ini telah mengetahui ia akan dibunuh dalam perjalanan dengan kereta mewah dari Istanbul menuju London. Dia akhirnya mati di malam longsor es menimpa kereta dengan banyak tusukan. Tusukan yang tanpa pola dan lebih didorong oleh instabilitas emosi dari pelakunya.
Di dalam kereta, para penumpang berisi orang-orang dengan riwayat berbeda-beda. Ada seorang kulit hitam yang mengaku dokter. Ada seorang yang mengaku profesor ilmu mesin. Ada perempuan yang religius, ada seorang guru geografi, juga perempuan tua bangsawan bersama pelayannya. Serta sepasang suami istri dengan istri yang terlihat sering sakit-sakitan.Â
Semua mereka adalah tersangka. Salah satu pembunuh ada diantara mereka. Bouc, sang direktur kereta, memintanya menyelesaikan kasus itu sebelum tiba di stasiun berikutnya. Poirot didesak waktu. Ini jenis kasus yang meminta seluruh kecerdasannya.
Hercule Poirot jelas menyelesaikan kasus ini. Seperti yang sering tergambar dalam novel Agatha Christie, dia akan menyelesaikan kasus dengan mengumpulkan para tersangka, menjelaskan hasil penalaran dan menunjuk tersangka. Caranya membongkar kejahatan adalah sidang pertaruhan antara penalaran yang tajam dengan argumentasi yang memikat. Hercule Poirot memang seorang logis yang egois bersama selera tinggi bangsawan.
***
Film Murder on the Orient Express yang masih tayang di bioskop tanah air ini telah mengawetkan rasa penasaran saya sejak melihat cuplikannya di Youtube. Â Selain beberapa kisah Hercule Poirot yang sempat saya baca di masa lalu, garansi mutu film ini karena nama-nama besar seperti Jhonny Deep (Samuel Ratchett), Penelope Cruz (Pilar Estravados), Michelle Pfeiffer (Caroline Hubbard), serta Judi Dench (Princess Dragomiroff). Hercule Poirot diperankan langsung oleh sang sutradara, Kenneth Charles Branagh.Â
Persoalannya adalah saya bukan pembaca Poirot yang "ideologis". Termasuk tidak pernah menyaksikan versi 1974 serta versi film yang pernah tayang di televisi tahun 2001. Referensi saya terbatas. Inilah gap pertama yang membuat kesulitan untuk melihat perbedaan dengan novel berjudul sama dengan buah adaptasi yang dilakukan Michael Green.Â
Sedang gap kedua adalah saya tidak familiar dengan film-film Branagh. Dari informasi terbatas wikipedia, bisa diketahui jika sutradara kelahiran Irlandia Utara ini adalah peraih Academy Award, telah membuat sekitar 15 film dan membintangi beberapa film sejak tahun 1980-an.Â
Imdb.com menambahkan informasi jika Branagh adalah salah satu pendiri Renaissance Theatre Company. Dia pernah meraih 'Special Award" pada tahun 1988 dari London Critics Circle Theatre Award (Drama Theatre Award). Pendek kata, saya mendekati film berbiaya $55 million ini dengan cakrawala acuan yang minim; awam.Â
Situasi berbeda terjadi ketika saya mendekati Sherlock Holmes yang dibesut Guy Ritchie. Holmes bukan saja hidup dengan ketajamannya memeriksa detail dari fakta-fakta fisikal yang tampil serta menyusun satu kesimpulan yang menyibak fakta-fakta permukaan itu (surface fact) namun juga terlahir sebagai jagoan berkelahi yang telah memprediksi kemungkinan-kemungkinan sebelum pukulan dilayangkan.Â
Selain itu, kisah Holmes dibingkai dalam satu konteks perseteruan kekuatan-kekuatan politik yang membuatnya tidak berdiri sebagai kehebatan seorang detektif semata. Namun tampak sebagai "penjaga dari tertib hukum dan moral" masyarakat ketika institusi hukum yang ada kehilangan wibawa kerjanya.
Sebaliknya, pada karya Branagh ini, saya harus mencari "kualitas yang asik"--atau justru sebaliknya!--selama film berlangsung. Saya mencari poin-poin yang relevan, kira-kira begitu.Â
Beberapa diantaranya adalah:
Pertama, secara teknis, film ini mengantar saya untuk menikmati satu visual yang indah namun suram. Lansekap gunung yang tertutup salju, kereta yang bergerak dan bunyi mesin yang membelah angin dingin bersama sorot cahaya kekuningan, seolah menyampaikan pesan tentang hidup manusia yang terus menerus memperjuangkan tujuang-tujuannya. Manusia yang berusaha menulis kisah-kisah kemenangan nalar dan kebenaran seperti Poirot atau kemenangan rasa sakit dan dendam karena kehilangan orang-orang tercinta seperti sang pembunuh.Â
Visualisasi yang tergambar seperti dalam film Dunkirk-nya Nolan. Film yang berlatar aksi pembebasan pasukan sekutu lewat udara, sungai dan laut dari pembantaian pasukan Hitler. Ini mungkin dikarenakan penggunaan jenis kamera 65mm yang katanya berkualifikasi "wide high-resolution". Sama dengan yang dipakai pada Dunkirk.
Kedua, bumi manusia adalah panggung dan sejarah dari pertempuran yang benar dan yang salah. Apa yang logis bukanlah jawaban bagi kebahagiaan dan kedamaian hidup. Pembunuhan Cassetti jelas adalah buah dari rancangan logis manusia namun tumbuh dari kehilangan, rasa sakit dan dendam. Poirot hadir untuk menentang kehendak hidup seperti ini, keterwakilan dari yang logis sekaligus yang bermoral.
Dengan tipikalnya yang egois, bahkan masuk dalam kategori "meledak-ledak", detektif berkebangsaan Belgia ini tampil sebagai sosok yang menegaskan peringatan bahwa ketika semua orang merancang kebohongan, hanya dua sosok yang tak pernah bisa menjadi korbannya. Tuhan dan Poirot.Â
Lelaki borjuis dengan kumis tebal ala Baron Hacienda ini adalah pusat dalam film.Â
Pusat yang saya maksudkan adalah penonton awam harus mengikuti bagaimana dia menghubungan satu fakta dengan fakta yang lain atau melihat "tanda yang retak" dari konstruksi atas kesaksian tersangka ke dalam jejak kasus Kolonel Amstrong yang juga pernah meminta tolong kepadanya. Untuk masuk ke dalam peristiwa yang lebih luas dari hubungan antar fakta dalam kejadian dan kesaksian (alibi) para tersangka, Poirot selalu bertanya, "Dalam sebuah kasus kejahatan, siapakah yang (paling) mengambil untung?"
Ketiga, hubungan kejahatan, penalaran dan kedamaian hidup. Poirot akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa kasus Amstrong adalah simpul dari pembunuhan Cassetti. Dalam kabin yang kecil itu, di tengah malam dengan longsoran salju, sangat kecil kemungkinan si pembunuh bekerja sendiri. Selain itu, jejak tikaman ditubuh Cassetti yang tak rapi dan cenderung emosional adalah tanda bahwa si pembunuh bukanlah profesional.Â
Pertunjukan pembuktiannya di depan para tersangka yang duduk berjajar memaksa Caroline Hubbard, sang nenek mengakui jika dialah aktor intelektual. Caroline yang mengorganisir mereka semua, menyatukan rasa sakit dan dendam karena keadilan yang tak terpenuhi oleh institusi hukum.Â
Seorang dokter yang kehilangan karena kematian kolonel, sang pengasuh yang menyesal di malam Daisy terbunuh dia malah tertidur, seorang pria paruh baya yang harus menanggung dendam karena kekasihnya menjalani hukuman atas kejahatan yang tak diperbuat hingga seorang anak yang menyesali perbuatan ayahnya sebagai pengadil yang salah dalam proses pengadilan.Â
Mereka menjadi korban dari ketidakadilan dan hidup bersama dendam. Manusia dengan hidup yang tak pernah mendapati kedamaian.Â
Keempat, yang lebih tinggi dari kehebatan nalar dan penegakkan hukum. Riwayat hidup seluruh pelaku pembunuhan yang menyakitkan ini membuat Poirot memilih untuk memberi kesempatan bagi mereka. Kesempatan bertemu kedamaian sesudah rasa sakit dan dendam dipenuhi. Dengan kata lain, kejahatan tak selalu diproduksi oleh orang-orang dengan riwayat kejahatan hampir sepanjang hidupnya. Kejahatan terencana bisa lahir dari orang-orang baik karena kemalangan yang tak lagi mampu ditanggungnya.Â
Manusia-manusia seperti ini masih memiliki kesempatan untuk menemukan kedamaian di sisa hidupnya. Poirot sendiri, memiliki sisi hidup dimana ia akan terjatuh pada suasana hati yang melankolis ketika nalarnya menemui dinding buntu, di depan foto Katherine.Â
Jejak sepi yang tersembunyi di balik ketenarannya sebagai detektif yang memecahkan kasus kejahatan pelik dimana-mana. Citra metodis-logis Poirot menyembunyikan hidupnya yang sejujurnya bergulat mencari damai.
Dengan kata lain, ada kecemasan yang sama antara Poirot dengan para pembunuh itu. Kecemasan yang membuat ia memilih membebaskan mereka.Â
Kelima, catatan terakhir yang terbaca sumbang: sentralisme peran Poirot membuat akting Barnagh dominan dalam film berdurasi 114 menit. Akting Jhonny Deep, Penelope Cruz, Michelle Pfeiffer dan  Judi Dench tak cukup menyala. Eksplorasi karakter mereka tak terlalu berhasil menggambarkan bagaimana kesedihan membentuk jiwa-jiwa yang datang dengan balas dendam. Beberapa adegan yang berusaha merekonstruksi masa lalu mereka, di ruang rasa saya, tak terlalu menunjukkan tekanan rasa sakit, kehilangan dan dendam itu. Sama terjadi terhadap Cassetti sebagai penculik yang bengis.
Dengan kata lain, kerja investigatif Poirot dalam membongkar hubungan tragedi keluarga Amstrong dengan kerja kolaborasi para pembunuh tak terlalu mulus terbangun. Tragedi keluarga Amstrong sebagai background seperti muncul tiba-tiba.
Dari lima catatan awam ini, saya sementara berkesimpulan jika Hercule Poirot dalam tafsir Green dan Banagh, adalah drama misteri yang belum berhasil membuat Poirot terlahir greget. Bahwa film ini telah meraup $202.6 million dalam catatan boxofficemojo.com, namun ini belum cukup memuaskan jenis kesadaran seperti saya.Â
Yang terlanjur dikolonisasi kesadarannya oleh jenis tafsir karakter dengan orientasi seperti Ritchie, Tarantino atau Nolan. Tafsir yang secara "kurang ajar" keluar dari pakem yang sudah terbangun atau masuk kedalam pelukisan ruang batin yang lebih "eksistensialis".Â
Berusaha membawa penonton pada dunia manusia dengan kompleksitas dan tak jarang menggugat penilaian-penilaian moral nan mapan dalam hidup sehari-hari. Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H