Sedang gap kedua adalah saya tidak familiar dengan film-film Branagh. Dari informasi terbatas wikipedia, bisa diketahui jika sutradara kelahiran Irlandia Utara ini adalah peraih Academy Award, telah membuat sekitar 15 film dan membintangi beberapa film sejak tahun 1980-an.Â
Imdb.com menambahkan informasi jika Branagh adalah salah satu pendiri Renaissance Theatre Company. Dia pernah meraih 'Special Award" pada tahun 1988 dari London Critics Circle Theatre Award (Drama Theatre Award). Pendek kata, saya mendekati film berbiaya $55 million ini dengan cakrawala acuan yang minim; awam.Â
Situasi berbeda terjadi ketika saya mendekati Sherlock Holmes yang dibesut Guy Ritchie. Holmes bukan saja hidup dengan ketajamannya memeriksa detail dari fakta-fakta fisikal yang tampil serta menyusun satu kesimpulan yang menyibak fakta-fakta permukaan itu (surface fact) namun juga terlahir sebagai jagoan berkelahi yang telah memprediksi kemungkinan-kemungkinan sebelum pukulan dilayangkan.Â
Selain itu, kisah Holmes dibingkai dalam satu konteks perseteruan kekuatan-kekuatan politik yang membuatnya tidak berdiri sebagai kehebatan seorang detektif semata. Namun tampak sebagai "penjaga dari tertib hukum dan moral" masyarakat ketika institusi hukum yang ada kehilangan wibawa kerjanya.
Sebaliknya, pada karya Branagh ini, saya harus mencari "kualitas yang asik"--atau justru sebaliknya!--selama film berlangsung. Saya mencari poin-poin yang relevan, kira-kira begitu.Â
Beberapa diantaranya adalah:
Pertama, secara teknis, film ini mengantar saya untuk menikmati satu visual yang indah namun suram. Lansekap gunung yang tertutup salju, kereta yang bergerak dan bunyi mesin yang membelah angin dingin bersama sorot cahaya kekuningan, seolah menyampaikan pesan tentang hidup manusia yang terus menerus memperjuangkan tujuang-tujuannya. Manusia yang berusaha menulis kisah-kisah kemenangan nalar dan kebenaran seperti Poirot atau kemenangan rasa sakit dan dendam karena kehilangan orang-orang tercinta seperti sang pembunuh.Â
Visualisasi yang tergambar seperti dalam film Dunkirk-nya Nolan. Film yang berlatar aksi pembebasan pasukan sekutu lewat udara, sungai dan laut dari pembantaian pasukan Hitler. Ini mungkin dikarenakan penggunaan jenis kamera 65mm yang katanya berkualifikasi "wide high-resolution". Sama dengan yang dipakai pada Dunkirk.
Kedua, bumi manusia adalah panggung dan sejarah dari pertempuran yang benar dan yang salah. Apa yang logis bukanlah jawaban bagi kebahagiaan dan kedamaian hidup. Pembunuhan Cassetti jelas adalah buah dari rancangan logis manusia namun tumbuh dari kehilangan, rasa sakit dan dendam. Poirot hadir untuk menentang kehendak hidup seperti ini, keterwakilan dari yang logis sekaligus yang bermoral.
Dengan tipikalnya yang egois, bahkan masuk dalam kategori "meledak-ledak", detektif berkebangsaan Belgia ini tampil sebagai sosok yang menegaskan peringatan bahwa ketika semua orang merancang kebohongan, hanya dua sosok yang tak pernah bisa menjadi korbannya. Tuhan dan Poirot.Â
Lelaki borjuis dengan kumis tebal ala Baron Hacienda ini adalah pusat dalam film.Â