Saya punya teman yang kini tidak rutin berkunjung. Padahal tinggal kami tak berjauhan. Hanya dipisahkan tanah selebar 3 meter dan rumah berdinding kayu. Awal-awal perkenalan, dia selalu datang. Bahkan memberanikan diri menyapa sementara saya sedang buruk mood--kayak mengalami menstruasi saja--entah karena tanggal tua atau lagi banyak yang mesti dikerjakan dengan kesendirian. Seperti menyapu lantai, mencuci piring atau menampung air. Â
Tapi sebaiknya memang dia tidak perlu rutin berkunjung. Bukan karena mulai saling mengabaikan atau kami terlibat pertengkaran yang serius atau karena saya mulai tak suka padanya. Dia memang hanya seekor kucing dan seharusnya tetap menjadi penjelajah kampung. Haram menjadi jenis rumahan. Apalagi kamaran: berbagi tidur di kasur saya yang tipis.
Kucing itu piaraan tetangga. Tentu saja saya sudah berteman duluan dengan tetangga itu sebelum dengan si Mpus. Si Mpus memiliki badan yang padat, berwarna kucing kecoklatan dengan corak seperti Zebra. Ekornya pendek, rahangnya kokoh, dan matanya selalu seksama. Yaiyalah, mata kucing!Â
Sudah dua hari ini, si Mpus bertingkah yang bikin saya kagum setelah hampir sebulan tak jelas rimbanya. Sebulan lewat, saya kira dia telah pergi merantau ke desa tetangga. Barangkali juga menemukan cintanya di RT yang lain, duga-duga saya. Ternyata dia masih balik ke sini dan sepertinya masih Jomblo yang tabah.
Tingkahnya itu lahir dari sebuah kondisi yang tanpa sengaja saya ciptakan. Pernah dengan "eksperimen Pavlov" yang menjadi inspirasi dari pengembangan Behaviorisme dalam psikologi dan ilmu sosial, khususnya dalam theori Stimulus-Respon? Belum? Ya sudah, kita gak akan bahas ini kok.
Jauh sebelum dua hari kemarin, setiap si Mpus datang, saya memasang wajah masam atau sedang tidak ramah. Saya paling tidak suka dia pipis sembarang, apalagi sampai beol. Lho, enak sekali kamu Mpus! Rumah ini yang ngontrak saya, yang bayar listriknya saya, yang bersihin setiap pagi saya, yang nampung airnya saya, yang sibuk ngelap rembesan bocor saya seorang. Kok kamu yang merasa punya teritori? Kamu yakin sehat?
Pernah  di awal-awal kunjungan, begitu di depan pintu, saya langsung menghadang. "Kamu dilarang masuk!" Si Mpus akan balik kanan. Ekspresinya datar, setidaknya itu yang saya rasa. Besok datang lagi, sama perlakukan yang saya ciptakan. Dilarang! Besoknya, sama lagi. Demikian hampir seminggu dan si Mpus kapok. Serius, saya gak menghadangnya dengan gagang sapu, coi.
Sekali waktu, saya kecolongan dan si Mpus ketiban sial. Hari itu, dia bersembunyi di salah satu sudut dapur, mengawasi tikus yang liat itu. Karena buru-buru mau naik perahu, saya mengunci pintu tanpa memeriksa isi rumah. Saya baru pulang menjelang senja. Si Mpus terkunci seharian tanpa seekor tikus yang jadi santapan. Ketika pintu depan dibuka, dia kabur seperti narapidana yang merayakan kebebasannya.Â
Dua hari ini, sesudah sebulan tanpa pertemuan, si Mpus datang dengan langkah mengendap. Saya yang sedang duduk di depan laptop pada mulanya hendak berdiri dan menciptakan kondisi yang sama. Â Tiba-tiba, suaranya memelas dan wajahnya dipasang mengenaskan. Seolah membujuk saya, "Ayolah, Ji. Sudah lama tak kesini, masa' diusir lagi?"
Saya batal berdiri. Hanya meninggikan suara. Huuuusss!!
Si Mpus bukannya mundur, langkah mengendapnya makin maju. Wajahnya makin memelas gak karu-karuan. "Gak ada tikus, woooi!" Dia terus maju, pelan-pelan melintas saya yang masih duduk saja. Mungkin dalam arti, "Manusia sok tahu, kayak dia yang diciptakan untuk berburu tikus aja!" Wajahnya makin memelas, suaranya terdengar merengek: pliiis, Boos, biarkan saya ke dapurmu yang sepi itu.