"Blame is shared equally between everyone. There can't be scapegoats. Win together, lose together."
Sejauh mata memandang di layar tipi, Ventura membuat Buffon, dkk, bermain dengan cara yang monoton: menyerang setengah hati dari sayap melulu. Bertahan dengan cara yang tangggung: memasang Candreva dan Darmian yang aktif di sisi kiri dan kanan. Lebih membingungkan lagi, peran playmaker yang seharusnya dijalankan Marco Veratti justru lebih terlihat diemban Bonucci--dan membenarkan kata-kata Bonucci: saya adalah gelandang yang dipinjamkan sebagai bek!--yang membuat lini tengah paska Pirlo terlihat medioker. Lini tengah miskin kreasi.
Ventura yang sebelumnya memiliki kontrak sampai tahun 2020 memilih kembali pada warisan Conte ketimbang referensi formasinya, 4-2-4. Memang dalam tiga pertemuan terakhir dengan tim dari kampung halaman Zlatan Ibrahimovich ini, Italia bukanlah lawan superior. Italia dua kali menang dengan skor 1:0 dan sekali imbang. Dengan riwayat pertemuan seperti ini mestinya Italia menyerang saja, lebih agresif dengan 3-5-2 yang sudah pernah teruji bisa membalas kekalahan atas Spanyol.
Sedangkan pada partai hidup-mati subuh tadi, Italia memang tampil dengan spirit yang benar, seperti harapan Ventura seperti dilansir theguardian.com. Statistik yang dilansir espn.com memperlihatkan jika Buffon, dkk aktif menyerang dengan penguasaan bola mencapai 74%, 27 kali melepaskan tembakan ke gawang. Malang tak dapat ditolak, Italia tidak bisa mengonversi walau hanya satu bidji gol.
Masuknya Belotti, El-Shaarawy ,hingga Bernardeschi membuat gelombang serangan makin kencang tapi telur tak juga berbuah bidji! Anehnya, Insigne yang memilki potensi sebagai kreator malah tidak dimainkan. Bersama Immobile dan Gabbiadini, mereka semua adalah deretan penyerang mati akal di depan tembok pertahanan anak asuh Jan Anderssen yang memang super disiplin.
Suksesor Antonio Conte ini membuat sejarah keterlibatan Italia tercoreng. Sejak 1958 alias selama lebih kurang 60 tahun, Italia selalu hadir di ajang perebutan tropi yang awalnya bernama Jules Rimet (1930-1970). Berhasil juara di tahun 1934, 1938, 1982 serta 2006. Tahun depan, fans berat Gli Azzurri mungkin akan lebih memilih mematikan televisi. Saya sih ogah, kan masih ada Argentina, yang terseok-seok di penyisihan grup juga.
Sejarah rasanya lebih memberi halaman bagi cerita Messi yang negaranya baru dua kali juara. Dengan 175 kali menjaga gawang tim nas, 58 clean sheet, dengan satu tropi juara dunia edisi 2006 di saat heboh skandal Serie A, Buffon sudah waktunya istirah. Memberi panggung bagi kiper-kiper baru yang terlalu lama menjadi bayang-bayang. Bukan sebatas di Italia namun seluruh dunia.
Maka sudahilah meratapi. Berhentilah menyalahkan Ventura terlalu lama. Jangan ikut memaki-maki.
Duka sempurna Buffon
Gigi Buffon memilih mengatakan jika penyebab gagal lolosnya Italia adalah kesalahan bersama. Tidak ada kambing hitam. Bersama menang, bersama pula menanggung kekalahan. Italia dipastikan tak akan bermain di Piala Dunia Russia tahun depan. Piala Dunia terakhir bagi kiper yang telah menghabiskan dua dasawarsa karirnya dengan keterlibatan di ajang bal-balan antar dunia itu.Â
Buffon jelas tahu jika Gian Piero Ventura akan menjadi subyek paling dihakimi. Termasuk oleh saya, pastilah! Sejak pertemuan pertama di markas Swedia, saya sudah cemas dengan pilihan cara bermain yang diinstruksikan pelatih kelahiran Genoa, 69 tahun silam. Memiliki penguasaan bola dengan prosentase 63%, Italia tidak mampu bikin gol.Â
Duka Buffon yang dalam dua tahun belakangan ini mencerminkan daya saing Italia yang merosot. Titik merosot pertama adalah pada kegagalan Juventus di final Liga Champions, Juni 2017 silam. Bermain di Cardiff, si Nyonya Tua remuk dikaki Real Madrid yang dilatih salah satu legenda Juventus, Zidane. Di kasta kompetisi Eropa yang lebih rendah, wakil-wakil Negeri Pizza ini pun tak berprestasi banyak.