Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hari Sebelum Kompasianival 2017

22 Oktober 2017   19:33 Diperbarui: 22 Oktober 2017   20:45 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Poster itu menyebut Orkes Moral Pengantar Minum Racun direncanakan akan datang. 21 Oktober. Saya teringat panggung kecil di dalam bar. Saya teringat anak-anak muda, rambut licin, badan telanjang dan tato di beberapa bagian. Saya ingat lelaki gemuk keriting dengan kaca mata berantai halus di dua sisinya dengan keahlian khusus: meniup sisir rambut berlapis plastik halus. 

Di bar itu, mereka bersatu oleh ekstase kecil dalam hentak musik. Musik yang hilang dari semaraknya dangdut dan cinta-cinta melulu Pop tanah air. Saya ingin merasakan ekstase kecil itu, larut dan hilang di dalamnya. Sejenak tak peduli dunia dan membiarkan segalanya terbang ke semesta tanpa definisi. 

Bintang Capricornus, kalau menggigit bisa tetanus.

Poster itu juga menyebut dua sosok yang memaksa saya harus membayar semua yang mereka hasilkan. Sosok pertama adalah seseorang yang suka menyendiri dan mengalami hidup yang sedih, demikian ia menjelaskan hidupnya sendiri. Tubuhnya ringkih dan rambutnya keperakan seperti monumen hidup dari segala pergumulannya. Seorang penyair yang menolak menjadikan puisi sebagai buku harian telanjang.

Penyair yang puisi-puisinya tumbuh dari celah yang tak digarap oleh nama-nama besar dari masa lalu dan masa dimana karyanya di lahirkan. Dia membuat kesedihan bercerita lewat humor. Puisinya merawat tragedi dengan komedi. Lewat kepiawaian menggunakan benda-benda dan peristiwa orang-orang kecil. Lelaki pemilik kredo, "Selamat Menunaikan Ibadah Puisi."

Lelaki kedua, berjarak sekitar 10an tahun dari umur yang pertama. Dia salah satu yang membuat penelitian filsafat tentang karya Pramoedya.

Dia melahirkan cerpen dan novel yang membuat saya wajib memberi ruang khusus di rak buku; daftar koleksi. Hal yang sudah lama tidak saya lakukan. Saya bahkan harus bolak-balik di toko buku dalam minggu yang berdekatan, bertemu penjaga yang sama, dengan pertanyaan yang belum berubah, "Buku Eka Kurniawan yang judulnya ini sudah ada?" Ketika si penjaga balik dari komputer katalog dan mengatakan daftar yang ada,"Saya sudah punya semua," sebelum keluar dari toko buku. 

Orang ini menulis cerita dengan kalimat-kalimat panjang yang menyihir. Ada yang bilang pencapaian sastranya berdiri di atas pundak Kafka dan Gabriel Marquez dan lain-lain nama besar. Di tengah deras penerjemahan karya sastra dunia ke bahasa Indonesia, saya kira ia adalah arus balik. Membaca novel-novelnya serasa membiarkan diri hilang ke dalam jatuh cinta.  

Apa yang tertera di poster itu adalah panggilan. Merayakan bahagia menjadi Indonesia. Jika tidak sekarang, kau harus menemuinya sendiri-sendiri. Entah kapan.

Bukan meng-sekunder-kan arti penting K'ers. Saya masih berkesempatan ketemu gerombolan Ngawur yang dipelihara sebuah grup wasap. Masih berkesempatan menjumpai para pegiat fiksi yang tabah dengan rata-rata pembaca 300an bahkan ketika headline. Masih berkesempatan menemui para penulis setia segala rupa kanal. Masih berkesempatan bercermin face-to-face kepada para sesepuh dengan stamina menulis yang bikin anak muda tahu diri. 

Syaratnya dua saja. Selama hayat masih dikandung badan dan Kompasiana belum bubar dimakan zaman. 

Saya tak menimbang lama-lama untuk meregistrasi diri sesudah merancang waktu. Baru kali ini. Kebetulan, Oktober tahun masih berisik politik ini, ada sedikit kesempatan berlibur. Hari berjalan mendekat tanggal penantian.

Dan........

Petaka itu tiba. Ya, PETAKA!

"Akan datang tamu. Semacam studi banding," kata seorang kawan.

"Tanggal berapa?"

"18-20. Sehari aja sih di desa. Pas tanggal 19-nya, 20 udah balik."

Kampreeetooosss, maki saya diam-diam. Setidaknya, saya harus sehari sebelum acara sudah tiba di Jakarta, bermalam entah di Bogor atau dimana penampungan terdekat sudi menyelamatkan, sebelum ke lokasi pertemuan yang telah dinanti-nanti. Itu hanya terjadi pada tanggal 20 bersamaan pulangnya tamu. Kurang elok, atau mungkin sayanya doang yang merasa demikian. 

Rencana menghilangkan gemuruh dunia ke dalam ekstase di depan musik orkes dan menciumi tangan mereka satu per satu terbayang hanya akan menjadi angan-angan. Kapan lagi menjumpai mereka di satu panggung di hari yang sama tanpa harus lelah sebagai panitia? Kampretoos lagi dah.

Di hari tanggal 20, di dalam perahu penuh sesak, saya hanya mengabdikan gelombang yang pecah di badannya. Yang datang dari depan bukan saja tak pasti. Ia bisa mengubah yang telah disusun jauh hari. Makanya saya sering bingung kepada politisi yang terus-terusan meromantisir masa lalu tanpa sedikit pun pengalaman menderita dan berjungkirbalik memahami pikiran-pikiran besar dari masa lalu itu.

Saya merasa tema Kompasianival tahun ini tepat. 

Kita membutuhkan kolaborasi generasi dalam banyak hal. Terlebih ketika berhadapan dengan kecenderungan (politik) untuk menciptakan sekat-sekat yang sejatinya rapuh. Gelombang bersekat-sekat yang seolah hendak menarik mundur globalisasi dan membawa hidup hari ini ke dalam dunia yang tak pernah ada: struktur identitas yang murni. Seperti melihat Hitler sedang tersenyum dengan kumis yang ganjil dimana-mana. Sementara para pemuja populisme-ultranasionalis tengah merasa diri sebagai nabi-nabi baru. Padahal kita tahu, pada siapa mereka pernah menisbatkan "tuhan-tuhannya".

Satu-satunya yang bikin kita tidak perlu sedih berlarut bukan karena negeri-negeri canggih di Barat sana duluan memulainya. Akan tetapi karena pergaulan gagasan lewat tulisan di Kompasiana adalah modalitas yang baik dalam menjaga keawasan terhadap diri sendiri; menyelamatkan kepala dari sikap serba memutlakkan yang relatif dan nisbi.

Satu hal lagi yang mungkin perlu diusulkan untuk Kompasianival di masa datang adalah lokasi kopdar terbesar jangan dulu di pusat-pusat bisnis dan hiburan urban. Mungkin perlu dipertimbangkan sejenis lokasi yang mewakili desa budaya atau ruang-ruang dimana ada sedikit pengalihan suasana terhadap kota dan mencerminkan kolaborasi kewargaan biasa dalam menjaga ruang hidup berIndonesia. 

Pan lagi rame nih wisata-wisata yang balik ke desa dan kearifan lama. Ehe. 

Ya, begitulah kisahnya. Demikian ceritanya. Selamat buat semua. Panjang umur Kolaborasi! 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun