Kita pernah terbenam dalam bertumpuk-tumpuk surat.
Jarak kita ringkas, kenangan kita padatkan
hati kita bertukar melayang lantas saling hinggap.
Kita menjadi pohon yang sejuk di siang hari
hangat di malam dingin.
Saat-saat itu,
rindu dan tunggu menyediakan banyak sekali cerita
yang terasing dari tanda titik. Paragraf-paragraf manis
selalu lekas kita tuliskan berkali-kali.
Aku kangen, kapan bisa ketemu?
Kangenku tak lebih hebat dari milikmu. Bila ketemu,
maukah mencabut uban yang kelelahan merindu
sumber kesabaranku?
Aku tak yakin bisa pura-pura tanpa surat-suratmu.
Daya hidupku tak lebih tangguh dari punyamu. Andai kelak bersama
maukah membersihkan asin keringat
karena menyiapkan makan malammu?
Tentu saja surat-surat kita adalah sebuah jalan. Selain sepasang pohon.
Jalan yang tak pernah dilewati siapa pun,
kau memilih merahasiakannya. aku mencoba melindunginya.
Sebelum kita berhasil dipersatukan berjuta kata, beratus kalimat,
berpuluh paragraf. Bertumpuk surat.
Masa laluku tumbuh bersama padi dan tanah basah
aku menyukai orang-orangan sawah,
tubuhnya dari kayu, kepalanya bundar dari tempurung
mengingatkanku pada cita-cita Bapak.
Bapak ingin aku merelakan waktu
demi orang banyak, sendiri menjaga hari
seperti orang-orangan sawah.
Hidupku sebelum kamu, tumbuh bersama hutan, rusa dan harum madu.
Ibu ingin aku mengikuti dirinya. berdiam di rumah,
memastikan anak-anak dan suaminya
makan dengan tertib, tertidur dengan tersenyum.Â
Begitulah surat-suratmu membawa kita ke kasih ibu
surat-suratku membawa ke perjuangan bapak.
Tapi itu dulu.
Kita kini secepat air lesap ke tanah kerontang
di balik jendela metromini, cempreng suara kernet,
bau knalpot dan kesibukan-kesibukan kota yang berkelahi
dengan klakson dan macet.