Betapa sengsaranya menulis sesudah kamu. Padahal--semestinya--ini hanya sebaris puisi, seperti kemarin. Seperti saat kau memuja bermanja di bahu
sedang di layar bioskop yang sesak dengan gemas, Cinta sedang gamang memilih masa lalu. Atau menjumpai masa depan tanpa Rangga.
Tapi itu kemarin. Ketika aku masih sebagai penenang hari-harimu yang semulia Ratu.
Betapa seharusnya menulis sesudah kamu. Sebab ini--selayaknya--tentang sebaris kalimat yang belum pernah ada. Kalimat dengan kehendak bebas,
 mencari pengertian penyabar rasa sakit, pewaras duka lara di musim tak ada lagi bioskop dan bahu yang menenangkan. Sedang Cinta dan Rangga tampak sebagai pura-pura yang buruk. Dan itu sekarang. Ketika aku hanya berjuang memenangkan asa dari jalan buntu.
Mungkinkah di kenanganmu, kita hanya selingan drama masyarakat yang tergesa-gesa?Â
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI