Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Momen Berbahaya

29 Maret 2017   09:07 Diperbarui: 29 Maret 2017   19:00 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak tindakan serius dimulai dari ketaksengajaan. Pada mulanya, aku tidak membayangkan akan terus seperti ini, tak sengaja yang serius. 

Maksudku, pergi diam-diam, menyelinap, mengendap keluar dari kamarku, berjalan lekas ke pagar, menyebrang jalan, menahan angkot 01 dan tiba di sebuah gerai makanan cepat saji yang berjarak tempuh 20 menit. Sedang kamar yang aku tinggali tanpa pamit, yang selalu kubiarkan tak terkunci, akan segera ramai dengan jiwa-jiwa sepertiku. Jiwa-jiwa yang percaya, setiap jomblo seharusnya menghabiskan kesunyian bersama-sama. Dengan gitar, lagu sendu, kopi. Atau sesekali, tuak kampung yang dibeli dengan patungan lantas terjerembab dalam cerita-cerita lara yang dikhayalkannya sendiri. Beberapa bahkan dengan berurai air mata. Lelaki sarat drama!

Tapi aku harus melakukan ini, pergi makan enak, sendirian saja. Pergi seperti ini membuatku merasa lepas dari sesak. Aku sudah merasa muak sejatinya. Perkumpulan jomblo yang mendayu-dayu lama kelamaan terdengar menjijikan. Jika mengenang ke belakang, aku sendiri heran, bagaimana perkumpulan itu bermula. Ide dari mana dan mengapa harus di kamarku? Yang jelas, sudah setahun kami melewatkan hampir setiap malam dengan cara seperti itu, berkumpul dengan lagu sendu yang merawat lara segerombolan jomblo. Seolah saja, kami hanya tercipta untuk hidup dalam siklus meratapi. Laki-laki tanpa nyali!

Di gerai cepat saji itu, aku memang tetap saja duduk sendiri. Tetap saja makan dalam sunyi. Membayar sendiri dan pulang sendiri. 

Namun aku merasakan ada energi yang berbeda. Melihat suasana berbeda, melihat orang-orang berbeda membuatku sadar, lara hati jomblo yang berkumpul sama buruk dengan kepedulian tanpa tindakan.

Di gerai itu, misalnya. Aku pernah melihat seorang bocah yang terus saja berlari kesana-kemari. Sementara ibunya, dengan kesabaran, terus mengikuti dengan es krim gelas yang terus mencair. Aku lantas ingin seperti bocah, gembira berlari. Rasa bebas dan terlindungi. Eh, tidak cuma itu, aku pun ingin istriku seperti ibunya. 

Pernah juga aku melihat dua pasangan baru, mungkin baru dua bulan menikah, duduk berhadapan, makan ayam sambil suap-suapan. Lelakinya menyuap ayam, perempuannya menyodorkan sedotan. Mesra yang segar--iyalah, baru menikah! Aku berharap, jika kelak menikah, dengan pasanganku, kita suap-suapan sampai rambut rontok dan gigi ompong merata. Di rumah, tidak di gerai cepat saji.

Dan aku pernah diperlihatkan dua remaja SMP, masih dengan seragam sekolah, datang bergandeng tangan dengan kepala perempuan menempel di pundak. Aku masih tidak menemukan jawaban, bagaimana mereka berjalan dengan cara kepala yang miring dan manja yang dipaksa-paksa sambil percaya diri antri di depan konter pemesanan? Sekali waktu, aku mendengar percakapan yang--andai saja salah satunya adalah adikku, sudah pasti benjol jidat atau merah kupingnya--. 

"Mamah, mo pesen apa?" tanya lelakinya.

"Terserah Papah. Apa yang disukai Papah pasti kesukaan Mamah, kan?"

"Papah mau pesen yang ayam dilumuri keju kental membara, seperti cinta Papah ke Mamah. Mamah suka kan?"

Kepala miring remaja perempuan terus tegak lurus, matanya membelalak, jemarinya melepaskan diri dengan kasar dari genggaman Papah-nya, "Kan aku sudah bilang aku gak suka keju. Gak pernah suka. Sejak kapan aku makan ayam berkeju. Kamu bodoh, apa gimana?"

Aku terus maju, giliranku memesan. Dua remaja itu kini tengah bertengkar di halaman parkir. Melihat kejadian aneh ini, aku tak berharap apa-apa. Hanya bersykur, aku anak tunggal. Aku tak perlu cemas dengan pergaulan adikku. 

Disinilah, di momen tragedi Mama Papah SMP yang bertengkar, aku menemukan gairah itu.

"Pesen apa Kakak?"

Pramusaji menyapaku. Senyumnya mereka, matanya begitu sabar. Menunggu.

"Yang menu Jepang saja Mba. Minumnya lemon tea. Berapa?" 

"Saya baca lagi ya, Kakak," jawabnya sambil mencatat di keyboard yang tersambung dengan layar harga," Yakiniku satu, lemon tea satu. Lima puluh ribu rupiah, Kakak."

Ku keluarkan lembar biru. Senyum pramusaji masih merekah. "Makasih, Kakak," ucapnya sambil menyatukan dua telapak tangannya di depan dada. Manis sekali. Sumpah.

"Kakak, masih ada yang mau dipesan?"

"Ke..na pa? Oh..tidak, tidak. itu saja, Dik.eh, Mbak. Itu saja."

"Ada yang masih ngantri. Nanti pesanan diantar ke meja ya Kak."

"Ups. Iya Mbak, terimakasih."

Itulah kejadian, permulaan peristiwa, yang membuatku selalu menyelinap diam-diam, meninggalkan perkumpulan jomblo terkutuk di kamarku. Hampir setiap hari dan ini sudah berlangsung empat bulan lebih. Bisa di siang hari, dan lebih sering malam. Aku kini digerayangi rindu suasana disihir, tubuh hidup yang mendadak menyerupai batu di depan senyumnya, di depan loket pemesanan menu. Bahkan ketika dia off.  

Aku tidak memiliki harapan apa-apa, atau doa-doa. Aku hanya ingin melihat senyumnya sampai ia berlalu dari balik meja pesan itu. Melihatnya tersenyum, menyapa ramah, dan menutup percakapan dengan menyatukan telapak tangan di depan dada. Itu membuatku teduh. Itu membuatku normal. 

Aku akan berdebar-debar kala mataku menatap matanya yang jenaka, padahal ia tak pernah sungguh menatapku. Aku ingat mirip mata seorang artis tapi mendadak ku lenyapkan ingatan itu. Biarlah kebiasaan membandingkan hidup di kamarku, bersama drama-drama jomblo tanpa nyali itu.

Dan sekarang, aku memiliki kreatifitas baru. Menelpon ke rumah, mengeluhkan banyak tugas dan bahan yang harus difotokopi, duit bulanan harus ditambah. Ibu mulai sering mengeluh dan ayah rajin memarahiku. Aku tak peduli. Anak tunggal, sekeras-kerasnya dimarahi, gantian aku merajuk, ibu pasti cemas, ayah pasti merasa bersalah.

Ini momen-momen menggetarkan. Bukan saja aku mengakali orang tua, terutama ibu. Aku bahkan sedang menyediakan diriku untuk rasa sakit yang mungkin tak terobati karena senyum. Sebab, ketika menuliskan cerita ini, pramusaji idolaku kini mulai datang dan pergi seseorang. Lelaki dan mobil. Mapan. 

Ini bahaya. Biarlah, aku akan menghadapinya. Dari pada harus kembali ke kamar penuh drama dan lagu-lagu sendu. Kumpulan jomblo terkutuk!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun