"Ups. Iya Mbak, terimakasih."
Itulah kejadian, permulaan peristiwa, yang membuatku selalu menyelinap diam-diam, meninggalkan perkumpulan jomblo terkutuk di kamarku. Hampir setiap hari dan ini sudah berlangsung empat bulan lebih. Bisa di siang hari, dan lebih sering malam. Aku kini digerayangi rindu suasana disihir, tubuh hidup yang mendadak menyerupai batu di depan senyumnya, di depan loket pemesanan menu. Bahkan ketika dia off. Â
Aku tidak memiliki harapan apa-apa, atau doa-doa. Aku hanya ingin melihat senyumnya sampai ia berlalu dari balik meja pesan itu. Melihatnya tersenyum, menyapa ramah, dan menutup percakapan dengan menyatukan telapak tangan di depan dada. Itu membuatku teduh. Itu membuatku normal.Â
Aku akan berdebar-debar kala mataku menatap matanya yang jenaka, padahal ia tak pernah sungguh menatapku. Aku ingat mirip mata seorang artis tapi mendadak ku lenyapkan ingatan itu. Biarlah kebiasaan membandingkan hidup di kamarku, bersama drama-drama jomblo tanpa nyali itu.
Dan sekarang, aku memiliki kreatifitas baru. Menelpon ke rumah, mengeluhkan banyak tugas dan bahan yang harus difotokopi, duit bulanan harus ditambah. Ibu mulai sering mengeluh dan ayah rajin memarahiku. Aku tak peduli. Anak tunggal, sekeras-kerasnya dimarahi, gantian aku merajuk, ibu pasti cemas, ayah pasti merasa bersalah.
Ini momen-momen menggetarkan. Bukan saja aku mengakali orang tua, terutama ibu. Aku bahkan sedang menyediakan diriku untuk rasa sakit yang mungkin tak terobati karena senyum. Sebab, ketika menuliskan cerita ini, pramusaji idolaku kini mulai datang dan pergi seseorang. Lelaki dan mobil. Mapan.Â
Ini bahaya. Biarlah, aku akan menghadapinya. Dari pada harus kembali ke kamar penuh drama dan lagu-lagu sendu. Kumpulan jomblo terkutuk!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H