Kepala miring remaja perempuan terus tegak lurus, matanya membelalak, jemarinya melepaskan diri dengan kasar dari genggaman Papah-nya, "Kan aku sudah bilang aku gak suka keju. Gak pernah suka. Sejak kapan aku makan ayam berkeju. Kamu bodoh, apa gimana?"
Aku terus maju, giliranku memesan. Dua remaja itu kini tengah bertengkar di halaman parkir. Melihat kejadian aneh ini, aku tak berharap apa-apa. Hanya bersykur, aku anak tunggal. Aku tak perlu cemas dengan pergaulan adikku.Â
Disinilah, di momen tragedi Mama Papah SMP yang bertengkar, aku menemukan gairah itu.
"Pesen apa Kakak?"
Pramusaji menyapaku. Senyumnya mereka, matanya begitu sabar. Menunggu.
"Yang menu Jepang saja Mba. Minumnya lemon tea. Berapa?"Â
"Saya baca lagi ya, Kakak," jawabnya sambil mencatat di keyboard yang tersambung dengan layar harga," Yakiniku satu, lemon tea satu. Lima puluh ribu rupiah, Kakak."
Ku keluarkan lembar biru. Senyum pramusaji masih merekah. "Makasih, Kakak," ucapnya sambil menyatukan dua telapak tangannya di depan dada. Manis sekali. Sumpah.
"Kakak, masih ada yang mau dipesan?"
"Ke..na pa? Oh..tidak, tidak. itu saja, Dik.eh, Mbak. Itu saja."
"Ada yang masih ngantri. Nanti pesanan diantar ke meja ya Kak."