Seingat saya, saat itu sudah ada keluarga dari Maluku, Raja Ampat, Serui, dan dari Batak. Pada keluarga Raja Ampat dan Serui inilah, dengan mengunyah pinang bersama, saya bisa menemukan hangatnya kasih sayang anak manusia. Saya menjadi bagian dari keluarga besar mereka.
Ketika pulang di tahun 2011 itu, saya masih melihat meja-meja pinang di malam hari.Â
Saya masih melihat Mama-mama yang wajah sabarnya terpantul dari remang cahaya pelita. Sementara kota makin marak dengan hilir mudik manusia belanja. Kota telah memberi tubuhnya pada outlet-outlet fast food. Hati saya pedih, tapi bisa apa?
***
"Ko su tra pulang?"
Pertanyaan ini pernah disampaikan seorang sahabat sejak zaman SMP di tahun 2011. Saya hanya diam.Â
Dari menulis nostalgia ini, di ulang tahun ke-107 kota Jayapura, saya makin tahu bahwa ruang bolong di dasar hati itu akan selalu menganga. Ia akan selalu meminta diisi walau tak kembali penuh.Â
Apa yang kini terjadi, perubahan-perubahan yang pesat dan seperti mereplikasi ideologi kota yang sama di tempat lain, akan selalu jadi penanda bahwa kota hidup dari bermacam nostalgia yang berusaha bertahan dalam kenangan berhadapan yang berusaha meniadakan itu dalam judul-judul yang disebutnya kemajuan.Â
Seolah saja, masa lalu tak punya makna yang esensial. Dan tentang perseteruan politik yang penyelesaiannya berada di jalan terjal--kalau bukan gagal-- dengan mengenang masa kecil, saya jadi tahu jikalau struktur kesadaran haruslah terpatri pada persaudaraan kemanusiaan.Â
Terimakasih Perpustakaan, Telepon Umum Koin, dan Pondok Pinang yang sudah mendidikan nilai-nilai persaudaraan sejak awal yang hari-hari sekarang ini menjadi pertaruhan dalam benturan politik dan era perayaan populisme atau proto-facism. Terimakasih Jayapura.Â
Selamat merefleksikan 107 tahun perjalanan sejarah.Â