Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

107 Tahun Jayapura, Sebuah Nostalgia

13 Maret 2017   12:24 Diperbarui: 19 Agustus 2019   12:35 1676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi point yang mungkin mendasar dari telepon umum koin adalah prasasti dari zaman yang mengingatkan bahwa revolusi komunikasi yang diwakili internet dan smartphone benar-benar radikal. Ia membuat hubungan-hubungan manusia terbentuk dalam semesta virtual yang dengan kecanggihan fasilitasnya, orang boleh sekaligus mengirim gambar dan suara (audiovisual). Orang-orang boleh bercakap-cakap lewat fasilita video call dan rasa rindu berjumpa itu boleh terkurangi. 

Di zaman telepon umum koin, rindu Anda masih harus berjuang dua kali: mengumpulkan koin dan mengumpulkan duit untuk membayar bakso sesudah pulang sekolah.

Zaman telepon umum koin juga adalah zaman dimana kegalauan, pertengkaran, patah hati tidak memiliki ruang untuk diakses orang banyak. Anda mungkin memiliki diari--tetapi laki-laki zaman itu umumnya jijik--akan tetapi harus punya kelompok sebaya yang bukan saja ngantri menelpon saat itu namun juga menjadi teman diskusi sesudah gagang telpon dikembalikan ke box-nya. 

Zaman ini adalah era dimana hanya orang-orang tertentu yang boleh mengakses suasana batin terdalam, suasana rasa yang jujur.

Anda hanya membagikan dunia dalam dengan teman-teman yang sepenuhnya percaya. Mereka yang sudah teruji bersahabat, dalam susah, senang, dan perjuangan merebut hati gebetan. Bahkan andai teman Anda itu pernah naksir pada siswi SMP yang sama denganmu namun beda sekolah, tidak perlu ada aksi sabotase di balik layar. 

Sekarang?  Social media adalah diari massal sodara-sodara!

Tiga, PONDOK PINANG.

Mengunyah sirih dan pinang bukanlah khas Papua. Banyak tempat di Nusantara di masa lampau memiliki tradisi ini. Bahkan menjadi bagian dari ritus tertentu yang tidak bisa sembarang dilakukan oleh sembarang golongan masyarakat. 

Di Jayapura, pondok-pondok penjual pinang saat itu mudah ditemukan di banyak komplek perumahan atau perkampungan. Terlebih pada malam hari, dengan penerangan pelita, pondok atau meja pinang seperti simbol dari kesetiaan yang bertahan melewati zaman yang berubah pesat dan meremuk identitas lama.

Di penggal nostalgia masa kecil, pinang dan sirih adalah simbolisasi persahabatan yang melebur batas anak-anak suku dan batas-batas golongan ekonomi. Saya sudah menguji ini.  

Dalam satu kesempatan, di komplek perumahan Padang Bulan itu, kami adalah keluarga yang menjadi pemukim awal. Saat itu para pemukim masih bisa dihitung dengan jari dan banyak sekali rumah yang masih kosong atau belum selesai dibangun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun