Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

107 Tahun Jayapura, Sebuah Nostalgia

13 Maret 2017   12:24 Diperbarui: 19 Agustus 2019   12:35 1676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Labor sekarang sudah menjadi Gramedia. Di sekolah pun, seingat saya, tidak cukup tersedia bahan bacaan yang dibutuhkan untuk mengembangkan imajinasi anak-anak dan remaja saya saat itu. 

Alhamdulillah, dalam keterbatasan, Jayapura sudah membangun perpustakaan daerah yang terletak diantara ruang jalan Abepura-Kotaraja.  

Perpustakaan ini membawa saya berkenalan dengan Asterix dan Obelix, dua pahlawan orang Galia yang menentang imperium Romawi. Komik yang diciptakan tahun 1959 dari buah kreativitas  René Goscinny (naskah) dan Albert Uderzo (gambar) menanam pengertian berbeda tentang orang-orang biasa, suku kecil, yang menolak tunduk dalam dominasi imperium. 

Asterix dan Obelix juga tidak mewakili karakter hero yang ganteng, cerdas, canggih, dan membawa nilai-nilai besar. 

Orang Galia hanya ingin merayakan kebebasan mereka, hanya hendak menjadi dirinya sendiri. Tidak boleh ada exploitation de l’homme par l’homme!, kalimat yang menjadi api di lidah Putera Sang Fajar, Soekarno.

Asterix dan Obelix adalah momen pergeseran dalam struktur pengertian setelah era majalah Bobo dan beberapa seri dongeng Nusantara serta komik paling populer saat itu, Tapak Sakti dan Tiger Wong. Dari keduanya, oleh fasilitas perpustakaan, saya pun dibawa bergaul dengan komik Kenji dan Kungfu Boy. Artinya dari kesadaran dongeng Nusantara, ditambahi imajinasi kebebasan Perancis, saya berbaur dengan citarasa kultural Jepang-Tiongkok, dua entitas peradaban yang memiliki satu asal-usul nilai budaya.

Apakah dengan persilangan sedemikian, sejak awal saya telah menyediakan kesadaran dalam semangat kosmopolitanisme--tema yang berpuluh tahun kemudian saya jumpai dalam teks pembaharuan Nurcholis Madjid dan Nusa Jawa Lombard, misalnya--? 

Tentu saja tidak! Saya baru menyadarinya belakangan. Dan bersyukur, di kota kecil Jayapura, perpustakaan telah menyediakan bacaan yang menyemai nilai-nilai yang kini menjadi kunci dalam wacana globalisasi.

Kedua, TELEPON UMUM KOIN.

Ada dua lokasi telepon umum yang begitu berbekas dalam kenangan. 

Pertama, yang terletak di depan kantor telkom, yang terletak di ruas jalan yang sama dengan lokasi perpustakaan daerah, kedua, yang terletak di halaman kampus Universitas Cendrawasih, Abepura. Dua telepon umum ini adalah saksi dari kekacauan-kekacauan anak abegeh yang mulai jatuh hati pada lawan jenis. Ia juga saksi dari perilaku "hidup disiplin" (baca: mengurangi duit jajan demi terkumpul koin) demi sebentar percakapan suara melalui kabel yang menjaga perasaan harap-harap cemas, degup-degup gembira. (Halaah).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun