Sejak tahun 1999, saya sudah memilih jalan merantau. Tahun 2000, sesudah pelaksanaan Kongres Rakyat Papua II, saya memang sempat pulang sebentar. Baru nanti satu dekade kemudian, saya boleh pulang lagi. Kepulangan kali ini berbeda.
Jika sebelumnya, saya kembali sebagai nomad yang baru mengalami perjumpaan dengan kota skala sedang dan budaya urban di Jazirah Sulawesi bagian Utara yang tidak kontras dengan sehari-hari Jayapura, maka pada 2011 saya kembali sebagai nomad dari megapolitan, Jakarta.
 Nomad yang sebelumnya hanya naik turun angkot dan menikmati bentang pesisir yang mulai bergeser ke tentakel konsumsi, maka pada kepulangan terakhir, saya adalah nomad di pinggiran inti konsumsi itu. Nomad yang selalu merasa tidak "bakumaso" alias ditolak segenap struktur kesadarannya. Sejujurnya, ini sama mengatakan, nomad semisal saya adalah jenis yang terasing dalam ruang bernama megapolitan.Â
Dari kepulangan tahun 2011, bersamaan pelaksanaan Kongres Papua III yang menimbulkan polemik pada status keabsahannya, saya serasa ditarik kembali, dibenamkan ke dasar yang retak. Retak dikarenakan apa?
Ini bukan semata kota Jayapura telah mendisiplinkan dirinya dalam orbit konsumsi sejenis di era Otonomi Khusus, hal mana secara mata telanjang ditandai dengan tumbuh menjamurnya ruko dimana-mana. Akan tetapi, yang paling membuat saya terhenyak, peristiwa kekerasan terhadap warga sipil. Kekerasan yang memang bukan peristiwa baru sebab bila membaca sejarah kelam pelaksaan Daerah Operasi Militer (DOM)Â ada banyak kasus yang tidak jelas penegakkan hukumnya.Â
Ini serial sejarah kekerasan yang melanggengkan memori penderitaan Manusia Papua dalam sejarah berIndonesia. Akan tetapi membuat saya terhenyak untuk kesekian kali adalah kekerasan terhadap warga sipil itu terjadi di ruang hidup yang pernah menjadi saksi keseharian saya. Ruang yang menjadi lokasi bermain.
Saya jelas cemas. Saya seperti orang asing.Â
Wakil generasi yang kehilangan nostalgia masa kecil di kekinian yang konflik politik militernya masih menindas kemanusiaan. Saya sadar, memperjuangkan Papua sebagai zona damai seperti amanah Kongres Rakyat Papua ke-II pun cita-cita banyak manusia yang tidak melihat Tanah Papua sebagai komoditas ekonomi dan politik ansich, masih harus menempuh jalan terjal.Â
Saya seolah kehilangan masa lalu. Saya seperti tidak memiliki nostalgia tentang kota yang memiliki garis pantai indah dan menjadi saksi Perang Pasifik.
107 Tahun Jayapura, Ihwal yang Abadi dalam Kenangan