Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

107 Tahun Jayapura, Sebuah Nostalgia

13 Maret 2017   12:24 Diperbarui: 19 Agustus 2019   12:35 1676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kota Jayapura | Sumber: SkyscraperCity

Pagelaran pasukan itu jelas menandakan level pengamanan yang super serius; Negara sedang mempertontonkan sosoknya yang tidak akan mentolerir apa pun yang terlanjur terdefinisi sebagai ‘separatis dan makar’. Hanya negara yang berhak menggunakan alat-alat kekerasan. Karena itu saya tidak percaya ada baku tembak. 

Ini adalah kongres rakyat Papua yang ketiga, sesudah tahun 1961 dan tahun 2000 yang silam. Di tahun 2000, setahun sesudah pemilu pertama paska Orde Baru, kongres berlangsung lancar dan aman. Salah satu sebab ketika itu karena pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tak melarang, bahkan kabarnya mensupport dengan baik.

Tapi tidak untuk Kongres Rakyat Papua yang ke-III ini. 

Akhir acara yang ditutup dengan pembacaan deklarasi merdeka serta penetapan presiden dan perdana menteri itu ricuh. Aparat melepaskan tembakan, sebagian besar peserta yang tidak sempat lari dibawa ke Polda Papua di Jayapura. Tanggal 20 Oktober, warga kota membicarakan penemuan tiga jenazah di sekitar lokasi acara yang topografinya perbukitan. Tanggal 21 Oktober, melalui pembaca berita RRI, ada penyampaian protes Anggota Dewan Adat Papua. 

Tanggal 4 November, sesudah melaksanakan investigasi sejak tanggal 23-27 Oktober, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengatakan jika pada Kongres barusan, didapati cukup bukti permulaan telah terjadi pelanggaran HAM sebagaimana dilansir detiknews.com. Dan ini jelas bukan pelanggaran HAM pertama dalam sejarah modern NKRI.

Rentetan peristiwa lain yang ikut menimbulkan kecemasan adalah rangkai peristiwa penembakan misterius yang menimpa orang-orang kecil. 

Orang-orang yang sehari-hari mencari nafkah, paling tidak itu cerita yang disampaikan media massa. Seolah saja, kota kecil yang indah ini sedang menenggelamkan dirinya ke dalam lingkaran setan kekerasan.

***

Tahun 2011, sesungguhnya saya pulang membawa "ruang bolong di dasar hati".

Ruang bolong karena sunyi kerinduan yang bertahun-tahun mendesak-desak sesak dengan caranya yang khas, unpredictable. 

Rindu pada tanah dimana saya lahir dan tumbuh. Rindu dimana saya memulai membentuk diri sebagai "manusia sejarah": membawa narasi masa lalu, mengalami kekinian dan bergerak, menghadapi masa depan tanpa kepastian. Tanah itu Tanah Papua. Dua kota kecil yang membesarkan saya adalah Serui dan Jayapura.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun