Pukul satu dinihari. Saya masih menyandarkan kepala pada dua bantal kucel. Bantal yang sudah setahun menemani tidur, menampung iler, dan, sering menitipkan pegal di pangkal leher ketika bangun pagi. Pikirannya melayang-layang di langit-langit.
Teman dari dua bantal itu, benda ketiga yang sudah menemani malam-malam Saya di rumah panggung tanpa plafon dan setiap sore kaki-kakinya digenangi air pasang selama setahun ini, adalah kasur tipis. Orang disini menyebutnya tilam dari Palembang. Kasur itu bisa dipakai dua orang tapi Saya melipatnya, menyatukan dua ujungnya sehingga agak tebal. Berharap bisa lebih hangat. Saya memang tak tangguh melawan dingin sebab pasti akan menciptaan batuk sepanjang malam.
Benda keempat yang menjadi teman malam Saya adalah sebuah baju hangat dengan tudung, seperti biasa dipakai rapper. Baju hangat ini setiap dua minggu akan selalu dicuci dengan deterjen yang mengandung pengharum. Bersamaan dengan itu, Saya akan menjemur dua bantal dan tilam Palembang. Karena itu juga setiap dua minggu, Saya selalu merasa sedang tidur di kamar yang baru pada rumah yang sama.
Bahagia harus diciptakan dalam segala rupa keterbatasan. Begitulah keyakinan Saya bertahun-tahun sudah.
Masalahnya Saya malam ini tidak bisa tidur lebih awal. Ini aneh. Tilam dan bantal bututnya baru saja dijemur, sweeter—oh ya, ini pemberian mantan pacarnya—juga baru saja diangkat dari jemuran sore tadi, dan di luar hujan deras. Deras sekali bersama petir yang menggelegar.
Sejam lalu, Saya baru saja menghabiskan satu film Hollywod yang dibintangi Ben Affleck dan Morgan Freeman, film bertema intelijen dan geopolitik, ide yang mengulang ide Great Game. Di beberapa penggal adegan, biasanya, Saya akan tertidur lantas terjaga, tertidur dan begitu seterusnya. Tapi tadi tidak terjadi. Matanya masih menyala-nyala. Aneh.
Dua jam sebelumnya, dua kawannya bertamu. Dua pemuda. Pemuda yang pertama, datang dengan cerita baru saja melamar kerja. Ia berharap bisa diterima, Saya mengaminkannya. Pemuda kedua, datang membawa kopi dalam kemasan siap seduh dan meminta di-copy-kan film ke memori hape merek Samsung. Sebelum mereka pamit, sebelum hujan turun, Saya sempat beberapa kali menguap, agak kurang sopan, tapi kantuk serupa mencret, susah sekali disembunyikan. Akan tetapi, setelah mereka pulang, ngantuk itu malah menghilang. Aneh.
Mungkin membaca kumpulan cerita, kantuk bisa lebih pasti, batin Saya.
Saya terus pergi ke keranjang yang dulunya digunakan untuk meletakkan pakaian kering. Saya sudah punya keranjang baru dari plastik, keranjang lama dari rotan itu diberinya mandat untuk menyimpan buku-bukunya. Saya punya beberapa buku, kebanyakan bertema sosial dan budaya, buku-buku yang berat dan tebal. Sisanya adalah buku tentang puisi, novel tipis, dan kumpulan cerpen, termasuk kumpulan cerpen Saya yang diterbitkan perkumpulan penulis fiksi di sebuah blog dengan keanggotaan yang besar. Saya memang sesekali menulis cerita pendek, sejenis puisi, atau opini disini.
Saya memilih membaca Kukila, Kumpulan Cerita karangan M. Aan Mansyur.
Sebenarnya kumpulan cerita ini sudah pernah dihabiskannya ketika berada di perahu dalam pelayaran tiga jam. Dari melahap enam belas cerita, Saya merasa mantap jika Aan Mansyur pencerita yang punya dayat pikat narasi. Pencerita yang wajib diambil ilmunya. Saya ikut sependapat dengan Joko Pinurbo, salah satu ahli puisi yang dipujanya. Kata-kata penyair ceking yang akrab disebut Jokpin tertulis begini.