Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Senjakala

24 Februari 2017   20:56 Diperbarui: 25 Februari 2017   06:00 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

…

Ia yang celaka, kala merah senja merupa lukisan
darah pada kanvas tubuh tanpa kepala.

Sejarahnya musnah, memang. Tapi
roda zaman terus saja mengutuk kematiannya.
Terkutuk pendosa tanpa kemungkinan mencapai nirvana,
hantu penasaran dari
kematian tanpa pembelaan.
Zaman dengan tuhan-tuhan pemantra ketakutan.

Di beranda rumah tua
aroma masa lalu diasingkan,
sejarah ditulis ulang oleh ketololan Narcisus,
kita berjaga dengan mata memelihara api.

Api dari temaram kuil-kuil megah di kota-kota
mantranya hidup bersama tumbal-tumbal:
gembel lampu merah, pelacur rel kereta,
dan kurus tubuh bocah-bocah comberan
mabuk aibon.

Kuil-kuil penguasa yang bertengkar sejak dalam mimpi,
saling bersangka dirinya nabi
segelintir menduga sebagai tuhan, diam-diam.
…

Kita sudah kepala baru masa lalu.
nestapa tak terkisah dari segala yang pernah celaka,
jiwa pelayan ketakutan
penyembah tersesat dalam ratusan tahun kehendak mengganti tuhan.

Api di mata kita,
Ia yang kelak membakar nirvananya sendiri.

[2017, Mendawai, Katingan]

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun