Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Sandiwara Radio

4 November 2016   10:33 Diperbarui: 4 November 2016   14:50 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: wordpress.saints.nsw.edu.au

Pringgo, temanku yang pandai sekali menyamarkan kebuayaannya, sudah beranak banyak sekali  dari banyak rahim perempuan. Tetangga-tetangga kami sering menggunjing Pringgo. Kata mereka dia bisa begitu karena sedang menempuh laku kebatinan tertentu. Aku setengah saja percaya.

Pringgo memang lemah mengendalikan syahwatnya yang tidak bisa sehari saja melemah. Ketika aku bertanya padanya, “Nggo, kamu sedang menempuh laku apa?”

Pringgo hanya tersenyum, sepertinya aku teman kesekian yang bertanya sama.

“Dalam puncak pergumulan tubuh, kau seperti terbang. Senyap dalam suasana yang entah apa tapi serasa lepas dari beban-beban tubuh.”

Aku masih tidak mengerti apa maksud penjelasan begitu. Aku sudah tidur sendiri dan terus saja begitu. Apalagi sejak malam penuh naik darah istriku.  

Istriku pergi di malam pertama sesudah janji nikah. Dia mendadak pecah emosi sesudah melihat koleksi poster tubuh sejenis dirinya yang tanpa benang dengan ekspresi menantang. Dia marah untuk sesuatu yang aku tidak mengerti, mengapa harus marah pada poster? Lagi pula, poster seperti begitu banyak dijual murah oleh mereka yang sudah lelah memelotoinya.

Sejak kemarahan poster, ia berniat membalasku. Ia pergi, bertualang, dan selalu saja ada yang datang, berteriak histeris, dengan kata-kata istrimu sundal, dasar lelaki bejat! Aku mendengarnya dan seperti kala melihat poster, melihat tubuh tanpa benang yang tak butuh disahuti balik.

Kata tetanggaku, Purnomo, aku sudah mati rasa.

Purnomo memang tetangga sebelah dinding pada atap yang sama. Sehingga ketika Purnomo sedang membujuk tubuh istrinya yang ogah-ogahan, aku bisa membayangkan wajahnya yang berjuang melawan kesal. Hanya dari suara, seperti di depan sandiwara radio.

Hanya membayangkan, kemudian tertidur lantas bangun dengan ingatan yang samar, tadi malam di dinding sebelah apa yang sedang terjadi pada Purnomo? Besok malam akan begitu, selalu begitu. Purnomo yang selalu gagal merayu tubuh.  Suara-suara Purnomo telah menjadi detak detik di jam dinding yang sama.

Aku tak bisa meresapi betapa menderitanya Purnomo. Atau istrinya, yang setiap subuh sudah berkeringat di pasar sayur sedang suaminya sibuk mengelus ayam jagonya. Pergulatan malam-malam mereka hanya suara yang sama saja. Aku heran, mengapa mereka bertahan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun