Aku dititip Bapak,sebuah sarung tanpa benang rindu.“Sarung ini dari Kakekmu,”
wasiatnya, begitu.
Kakek adalah kopral serdadu.
Pernah bertempur di garis depan masa lalu,
anaknya adalah penghulu
tugasnya menikahkan tekad masa kini dengan mimpi masa depan
Aku? Aku buruh lugu yang tulang rusuknya dinikahi mandor kebun tebu.
Lelaki rendah, pejuang di masa tak tentu.
Sarung itu berwarna hitam
Ketika aku lenyap di tubuh malamnya,
Kulihat Kakek dipeluk kaku
pada cengeng Nenek yang terus meminta berlian biru,
sebelum pergi dengan komandan regu bergundik tujuh
Ketika aku senyap di tubuh fajarnya,
kulihat Bapak dikeloni gagu
pada manja Emak yang mengharap zamrud ungu
sebelum lari bersama penghulu baru dengan dot susu di mulut
Aku terpingkal melihat sekarat senjata tanpa peluru
atau kusam khotbah nikah di depan cermin berdebu
hahaha, masa lalu belum berlalu!
Setiap senin kembali, aku mulai lupa cara tertawa,
sarung setia menggoda lucu. Katanya:
masa tak tentumu tak lebih lucu dari haru hitam masa lalu.
2016
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H