Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ruang Kota, Kisah Kesaksian Sarung, Taman, dan Kafe

11 Oktober 2016   06:42 Diperbarui: 11 Oktober 2016   15:06 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Ikan Jelawat, Kota Sampit | dok.pribadi

Saya bersengaja menikmati ruang publik dalam wujud kehadiran taman yang majemuk dengan macam-macam aktivitas manusia tanpa membawa keseriusan Habermas. Jadi saya tidak terlalu ambil peduli bahwa pada taman dengan macam-macam ekspresi manusia, di bagian yang tak terlihat mata, ada hidup kalah yang disamarkan. Atau ada pamer ekonomi kaum baru (sedikit) kaya dibalik hilir mudik sepatu roda dan selfie pakai pomcerdas terbaru. Dan juga, andai saja ada motif kekuasaan kota, yang sengaja membangun taman seperti ini untuk menutupi betapa ia hanya seolah-olah saja peduli pada publik. Biarlah ini semua diberi tanda kurung sejenak.

Taman jauh lebih mungkin menampung publik di banding kafe. Ini lebih penting dinikmati.  

Guru saya, seorang Kiai, pernah bilang, di kafe-kafe kota Paris, orang yang duduk melahirkan filsafat. Di kita, melahirkan prostitusi.

Ia memang sedang bicara ruang publik yang sakit di masyarakat dunia ketiga. Mungkin juga ia sedang bicara tentang kafe sebagai katedral bagi kelas menengah yang ngehe. Atau juga bagi mereka yang belum masuk jenis kelas menengah tapi keburu ngehe duluan. Tapi sudahlah, gak usah termakan provokasi seperti ini.

Di Sampit, kafe-kafe juga tumbuh marak, sejauh saya melihatnya dengan mata. Kafe-kafe kecil dengan interior yang unik-unik.

Saya pernah coba mampir kedua kafe yang terletak di ruas jalan MT. Haryono. 

Kafe pertama, sering menjadi lokasi nonton bareng sepakbola. Ruang yang disediakan juga lebih luas dengan kursi-kursi bercampur dengan lesehan. Banyak anak muda yang datang, selain nonton bola dan mendukung klubya, mereka juga bermain gaplek dalam kumpulan kecil. Waktu dipaksa berlalu cepat dengan cara yang santai, begitulah adanya kafe bukan?

Sedang kafe kedua, beberapa ratus meter dari yang pertama ini, agak tersembunyi diantara sebuah rumah makan seafood dan warung dari dinding papan.

Saya pernah duduk di terasnya. Seorang diri saja. Sebab di dalam ruangan yang dindingnya dari kaca bening, di bawah sorot cahaya kekuningan, ada meja penuh dengan rombongan tubuh perempuan "yang ter-urban-kan": rambut yang sudah penuh kreasi salon, celana jins setengah jadi sehingga agak kurang jelas yang hendak disampaikan adalah merek atau pantat, hp yang paling canggih, dan pecah tawa yang terdengar meminta diperhatikan (kalau yang ini sih, kayaknya perasaan saya saja). 

Intinya, ada pertunjukan selera dan gaya berbeda.

Membandingkan taman dan kafe sebagai ruang bagi publik dalam kontras di atas adalah juga mencakapkan tentang "pemisahan lembut" sarana konsumsi waktu luang kelas-kelas sosial di masyarakat. Kontras sedemikian, yang tak selalu lekas diperiksa mata telanjang, seketika membawa nama-nama seperti Harvey dan Lafebvre, dua diantara yang keras mengkritik kota-kota, ruang publik, dan waktu luang dalam tekanan "neoliberalisasi perkotaan" ikut bersuara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun