Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berkereta Api, Kesaksian dan Harap dari Pinggiran

28 September 2016   14:43 Diperbarui: 29 September 2016   19:39 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kereta api kepada saya, mula-mula, adalah angan-angan. Imajinasi yang menghantui. Ia menjumpai saya melalui permainan. 

Berpuluh tahun kemudian, pada kisaran awal tahun 2000-an, angan-angan itu berwujud kenyataan. Stasiun Gambir adalah saksinya.

Menjelang senja, saya menunggu kereta dari Gambir menuju stasiun Tugu, Yogyakarta. Hanya dengan kaos berkerah tipis dan celana pendek--dengan imajinasi seperti mendadak turis--saya bersemangat sekaligus cemas. Ini pengalaman pertama, siapa sangka berwujud setelah berpuluh tahun lama, Tuan?

Kereta tiba dan saya masuk ke dalam gerbong sesudah bertanya macam-macam kepada satuan pengamanan. Wajarlah, saya takut salah gerbong atau lebih buruk, ditinggal kereta yang hanya mampir sebentar saja. Berbeda dengan kapal laut yang terbiasa saya tumpangi ketika mengunjungi pulau-pulau di Papua, Indonesia Timur. Atau seperti naik angkot, saya bisa tetiba turun dan mengganti alat transportasi.

Saya duduk bersebelahan dengan seorang bapak, dengan kemeja yang disetrika rapi dan wajah yang, kau tahulah, serius yang lelah. Ia segera tidur, saya masih takjub. Oh sejarah, akhirnya saya duduk di dalam kereta!

Sayang, ketakjuban dan gembira ria hanya hadir sekejap saja. Kereta berjalan dan tubuh ringkih mahasiswa saya ditikam dingin yang tidak basa-basi. Selimut tidak bisa menyelamatkan apa-apa, bahkan sehelai rambut pun tiada kuasa. Dingin menikam dari kepala hingga ke ujung kaki. Dari tipis daging hingga ke dasar hati. Semuanya berlangsung sepanjang malam hingga dini hari. Sungguh, perjumpaan pertama yang merusak gambar indah angan-angan masa kecil dulu.

Puncak dari siksa dingin dalam gerbong itu adalah rasa kencing. Kesal menjadi-jadi, tapi hendak ditujukan pada apa selain kebodohan diri sendiri?

Dalam siksa kencing dan kesal, saya mencoba melarutkannya pada pikiran-pikiran yang lain. Misal saja, melihat penumpang yang duduk di dalam gerbong yang sama. Menelisik dandanan mereka, kelihatan semua bergambar para profesional di lapis atas strata ekonomi. Ada yang tertidur, ada yang bolak-balik dan hilang di sambungan gerbong. Saya tidak tahu mereka pergi ke toilet.

Sementara saya, yang terus disiksa rasa kencing itu, bahkan tidak berani bertanya pada bapak yang tertidur atau penumpang yang lain, "Di manakah kamar mandi berada?"

Saya takut nyasar. Nyasar dalam gerbong? Oh tidaaak. Jadi saya memilih mendiamkan semua. Biar siksa ini kusimpan sendiri. #Preeet.

Lantas tak lama, layanan makan malam tiba. Setelah saya periksa, terlihat enak walau tak tahu jenis makanan apa namanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun