Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berkereta Api, Kesaksian dan Harap dari Pinggiran

28 September 2016   14:43 Diperbarui: 29 September 2016   19:39 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalahnya adalah dimana meja untuk meletakkan tatakan makanan itu?

Saya makin cemas, rasa-rasanya keringat sebesar biji cempedak mulai bercucuran, karena sibuk sendiri mencari sementara bapak di sebelah sudah mulai bersantap lekas-lekas. Lengan kursi hampir saja copot. Ia memperhatikan itu. Lalu, dengan sukarela, menunjukkan cara mengeluarkan meja. 

Saya kemudian makan dengan rasa malu, bukan lapar.

Belakangan, sesudah beberapa kali bolak-balik Pulau Jawa, saya tahu kereta pertama yang 'hampir membunuh saya dengan dingin' itu adalah jenis eksekutif. Kereta yang menunjukkan hubungan 'kelas-kelas sosial' dalam pengguna moda transportasi. Belakangan saya juga baru tahu ada jenis bisnis dan ekonomi yang persis seperti gerbong pengangkut pengungsi. 

Kontras layanannya terlalu tajam yang kemudian diperbaiki oleh Ignasius Djonan. 

Pengalaman perdana ini menegaskan bawah berkereta api bagi pemula yang besar dengan moda transportasi pinggiran (: Indonesia Timur) bukan tentang bepergian yang efektif dan efisien. Bukan tentang fasilitas nyaman dan aman. Dengan kata lain, ini lebih sebagai perkara budaya, menyangkut adaptasi kesadaran, nilai dan pengetahuan, tak semata keterbiasaan tubuh terhadap moda transportasi. 

Saya mungkin jenis yang beruntung. Walau memiliki kesan pertama yang tidak menggoda dengan kereta api, saya tetap meluweskan hati menggunakannya. Ya, saya tidak pernah melihat pengalaman yang udik ini sebagai peristiwa buruk nan traumatik lantas memfatwa kereta api sebagai barang terkutuk sepanjang hayat. 

Walau saya pernah, pada malam yang sedikit gerah di gerbong kereta bisnis dari Surabaya menuju Jakarta, sebelum era Jonan, ketika kantuk memenuhi udara, tetiba braaak, sebongkah batu menghantam kaca dan seorang bapak harus berdarah karenanya. Semua penumpang di gerbong itu bahkan harus merelakan tanya apa salah kami di gerbong ini kepada bisu angin malam. Hanya ada doa selamat yang bergumam.

Sama juga ketika bepergian dengan KRL lantas melihat secara marak 'aksi berebut kenyamanan privat di ruang publik' oleh wajah-wajah muda usia di depan ibu-ibu atau bahkan orang tua tanpa wajah bersalah dan rasa-rasanya ingin saya tendang kepalanya, tetap saja bila sedang di Bogor dan hendak ke Jakarta atau sebaliknya, saya memilih berkereta ketimbang bis kota apalagi Gojek.

Saya masih tetap menikmati berkereta api di mana dari balik jendela gerbong bisnisnya, saya dibawa menjumpai lahan pertanian yang selalu bergairah. Saya dibawa melihat jejak agrarisme di Pulau Jawa yang masih bertahan dan terkenang-kenang pada tesis 'agricultural involution' Opa Clifford Geertz. Dan di sana, saya melihat riwayat Mbah dan Bapak yang berakar petani.

Atau juga, dalam kereta ekonomi, saya harus belajar berbagi ruang (duduk) dengan menahan kesemutan yang sangat sepanjang perjalanan karena posisi duduk berhadapan yang terlalu rapat. Bahkan andai pun di depan saya adalah sesosok Vony Cornelia plus Dian Sastro sekaligus, kesemutan itu tak juga sirna pemirsah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun