Jean-Luc Godard, sineas Perancis itu, pernah berpesan: tak jarang kenyataan begitu rumit dan cerita hadir untuk memberinya bentuk.
Dalam posisi sebagai sineas, kata-kata ini bisa dimaknai jika film adalah bagian dari usaha menghasilkan bentuk atau bingkai pandang dan tutur. Sehingga film bisa pula dikatakan sebagai usaha manusia menafsir kenyataan, usaha 'memberi makna' atas zaman atau realitas sehari-hari. Karena kenyataan demikian kompleks usaha memberi makna ini pastilah sesuatu yang selalu relatif.
Bahkan, ada pendapat yang juga mengatakan, film bisa menjadi bagian mengawetkan hegemoni dalam hubungan antar bangsa. Di sini, film adalah unit yang bekerja dalam adu canggih geostrategi dengan sasaran utama memperkuat unit soft power sebuah negara terhadap negara lain atau terhadap kawasan tertentu. Tapi, walau begitu, film tak selalu digunakan untuk tujuan keluar, ia bisa juga menjadi alat melanggengkan kepatuhan di dalam rumah sendiri.
Salah satu pemikir yang berusaha menunjukan posisi film sebagai sarana penguatan soft power rezim politik kedalam rumah adalah Douglas Kellner. Dalam paper berjudul Film, Politics and Ideology: Reflection Hollywood Film in the Age of Reagan, Kellner menunjukan bagaimana perseteruan konservatisme versus liberalisme menjadi motor nilai dalam produksi film Hollywood. Ia membahas film Rambo yang disebutnya sebagai jenis 'return to Vietnam'. Rambo sendiri adalah jenis film yang berusaha membangun citra Amerika sebagai kelahiran kekuatan baik sedangkan Vietnam atau Komunisme secara umum adalah wakil dari 'the evil'.
Dari pesan Godard di pembuka tadi juga kritik ideologi film yang disajikan Kellner, kita boleh menyetujui untuk sementara bahwa film bukan saja sekadar hiburan. Artinya produk industri tontonan yang diperuntukkan untuk menghabiskan waktu luang di akhir pekan atau sarana melepas stres sosial masyarakat.
Film juga bisa menjadi instrumen melanggengkan kepatuhan dan pemujaan yang diruwat oleh tiga kaki: sistem selera tertentu, produksi idola dan kelanggengan masyarakat fans.
Hollywood Hegemony: Sistem Selera dan Produksi Idola
Selera dapat dimengerti sebagai kecenderungan rasa suka atau kegemaran yang melibatkan emosi tertentu. Beberapa orang mungkin melihat ini sebagai sesuatu yang spontan, alamiah, karena itu given atau 'irasional'. Tapi saya tidak percaya dengan pendapat ini.
Saya lebih melihat selera sebagai rasa suka yang dikonstruksi secara sosial. Ia diproduksi oleh aparatur tertentu seperti pelaku industri dan media massa dalam konteks produksi film. Atau bahkan lewat lembaga keluarga dan sekolah.
Kesukaan pada film-film yang dibintangi pria bernama lengkap William Bradley Pitt yang memulai karir aktornya pada tahun 1987, mula-mula menjumpai susunan selera saya lewat majalah. Ada dua majalah di zaman ABG saya yang menjadi aparatus produksi selera, HAI dan Aneka Yess!
Pada kehadiran (pesona) maskulinnya, saya melihat sebuah ideal yang terus disebarluaskan tentang tubuh yang sempurna. Dari potongan rambut, cara menatap, proporsi wajah, postur tubuh hingga cara berdandan, sosok yang juga hebat sebagai produser ini hampir tanpa cela andai pun ia tampil berantakan. Selalu saja terlihat keren! Terlebih ketika usianya menuju sepuh (lahir tahun 1963), ia masih saja menjadi simbol seks Amerika yang dimenangkannya tahun 1995 dan 2000.
Kehidupan pribadinya, kata Wikipedia, menjadi salah satu subyek cerita yang diburu banyak penikmat hidup selebritis. Ia disebut juga sebagai salah satu seleb dengan level pengaruh global. Apalagi ketika ia berpisah dengan Jennifer Aniston dan hidup 12 tahun dengan Angelina Jolie, memiliki enam anak, ia seolah mewakili romantika yang sempurna.