Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Film Cold War II, Membaca Tiga Pola Operasi Perebutan Politik

23 September 2016   14:42 Diperbarui: 23 September 2016   14:55 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama berselang, politik Indonesia kontemporer pernah ramai gegara rencana pergantian komandan tertinggi polisi. Tarik menarik kepentingan politiknya begitu kental memenuhi atmosfir percakapan publik. Daulat presiden yang dipilih secara langsung bahkan harus dipertaruhkan, apakah ia akan menuruti protes publik yang makin keras atau sebaliknya melayani tekanan partai politik pengusungnya.

Fenomena adanya geng, gerbong, kartel, oligark atau blok politik (core elite’s) di tubuh negara yang secara aktif terlibat mengatur pembagian kekuasaan bukanlah ihwal yang baru, kalau bukan malah merupakan bagian inti dari perebutan kekuasaan dan “nilai yang mengikat konsensus” politik; energi yang menghidupi, seperti Cinta yang menanti Rangga berpuluh tahun lama.

Tidak penting negara demokrasi tinggi atau menengah, praktik sedemikian sudah menjadi hukum dasar tidak tertulis. Atau juga, bisa dikatakan, aturan main yang bekerja di balik hiruk pikuk polemik dan pemberitaan. Karena itu, di depan polemik politik, sebaiknya jangan lekas bermutasi dari Homo Sapiens menjadi Homo Komentaris.

Gejala di atas sudah lama ditelanjangi oleh pendapat yang mengatakan jika negara hanyalah alat bagi kelas-kelas yang berkuasa. Boro-boro melayani semua warga, Tuhan saja tidak! Dan di tangan kelas-kelas berkuasa itu, selalu ada siasat untuk menjaga keberlangsungan dominasi mereka (= reproduksi kelas). Sebab pada tubuh negara, kewenangan mengelola sumberdaya ekonomi dan politik begitu besarnya. Pendapat yang demikian mengacu pada perspektif negara instrumentalis.

Sudah ngeh kan mengapa mantan presiden masih suka main politik dengan mendorong anak-anaknya mengambil posisi strategis?

Tapi sudahlah.

Kita abaikan mantan-mantan yang masih sibuk terlibat ngurusi hidup hari ini. Mari kita bicarakan saja sesuatu yang menghibur namun sekaligus memberi sedikit pendidikan politik. Jadi mari kita menyimak film ketimbang menunggu partai politik itu sadar dan bertobat.

Belum lama ini ada sebuah film yang diproduksi oleh sineas Logman Leong dan Sunny Luk (Mandarin) yang berusaha menunjukkan bagaimana pertarungan blok politik dalam merebut alat-alat negara. Alat negara yang direbut itu adalah kendali politik atas lembaga kepolisian.

Film itu berjudul Cold War II. Film yang melanjutkan kisah sebelumnya, Cold War (2013) yang konon pernah terlaris di tahun itu.

Cold War II –selanjutnya akan ditulis CW 2 saja—dirilis pada 8 Juli 2016. Beberapa nama top yang terlibat dalam film ini adalah Aaron Kwok (Komisaris Sean Lau), Tony Leung Ka- Fai (M.B Lee), Chow Yun-fat (Oswald Kan Ngo-wai), serta actor muda Eddie Peng (Joe Lee) yang CV main filmnya makin banyak.

Singkat Cerita

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun