Kau yang mengendap ke dalam rongga perutku ketika lamunan akan nostalgia yang basi dan hari ini yang payah pada jiwaku yang tumbuh bingung dengan dongeng besar bersama ketaatan pembebek yang naif; yang seringkali tersesat di persimpangan dan benturan ambisi namun memiliki nyali yang miskin untuk memberontak terhadapnya; yang merelakan diri bertumbukan hingga menelusup ke bawah sadar di depan sesuatu yang sesungguhnya entah untuk apa!
Dalam rongga perutku, kau mula-mula adalah senyap lapar yang membiarkan malam berjalan terlalu ringkas hingga angkuh dingin turut mengendap masuk bersamamu, lalu kalian bersetubuh dengan segara hingga menciptakan tekanan menusuk yang menjadi pertanda jika kalian telah mencapai klimaks. Ini juga sama dengan kode bahwa aku seharusnya memberi peringatan pada seluruh kesadaranku jikalau persetubuhan kalian sesungguhnya juga adalah subversi terhadap kenyamananku.
Dan benar saja.
Sesudah segala lamunan tadi hanya berujung menjadi caci maki sesal yang menghentak hingga ke bawah sadar, aku kini adalah seorang sadar yang sabar, menjadi pembujuk yang mengelus merayu rongga perutku seperti sepasang laki bini yang gagal memiliki anak sesudah berpuluh kali mengikuti program bayi tabung, agar tetap tabah menunggu pertolongan mentari—tentu bila tidak hujan—yang membawa hangat sebagai sekutu serangan balik kepada aksi subversimu.
Tapi betapa malangnya aku. Pagi datang dengan wajah yang muram, mendung tebal mencipta genangan di matanya. Aksi subversi yang menyiksa rongga perutku kini telah pula tumbuh menjadi kalap di kepalaku, serasa hendak aku gunakan lagi opsi bandung lautan api zaman revolusi! Rongga perutku makin keras mengaduh dan memohon agar memikirkan kemungkinan lain menyingkirkanmu. Tengkukku kini juga telah menjadi dingin dan basah seperti bibir anak perawan yang pertama kali menerima ciuman cinta monyetnya. Sempurnalah kalapku!
Sebagai yang terbiasa berteman senyap lapar, aku sadar tidak boleh menuruti kalap namun juga hanya akan membiarkan rasa sakit ditusuk makin tak tertanggungkan jika berdiam diri seperti ini, atau kembali berkubang pada menyesali sebab telah melayani lamuman yang buang-buang emosi. Kini satu-satunya yang bisa ku lakukan adalah pergi tanah lapang dan melihat apakah para nelayan dan petani itu sedang berkumpul atau tidak. Â
Oh, syukurlah, di setiap kesulitan selalu tersedia jalan untuk menemukan lagi kemudahan.
Di bawah pagi yang muram dan sembab matanya itu, para petani dan nelayan tetap mematuhi kesepakatan untuk bertemu. Jadi aku pergi menemui mereka, meminta dengan sangat memohon, lalu membawa pulang seikat tempurung yang akan kuurapi bersama rempah-rempah warisan nenek moyang dari kebun tetangga, sembari memantra rongga perutku yang seperti tengah hamil besar agar berhenti mengeluh dan mengaduh. Dan lebih penting lagi adalah melancarkan aksi balasan atas tindakan subversifmu.
Sekembalinya aku, lalu masuk di ruang dimana lamunan-lamunan nostalgis dan basi itu pernah terjadi, satu-satunya televisi menyala sendiri disana, yang menyiarkan cerita sebuah botol berisi air bergelembung berwarna kehitaman, dan seorang perempuan muda dengan warna kulit yang seputih kain kafan meneguk air gelembung kehitaman itu, gluk, gluk,gluk...aaah....segar sekali tampaknya, kemudian tersenyum padaku, dan berucap dengan ceria: Minumlah Masa Lalu! Terus saja berulang seperti itu, seolah kehidupan telah menjadi totaliter dan satu-satunya yang ditayangkan hanyalah Minumlah Masa Lalu, seolah-olah kehidupan telah kembali dikendalikan "Bung Besar" dan aku adalah Winston Smith yang gelisah, tahun 1984.
Jadi aku mengambil kursi, duduk berhadapan seraya membenamkan kepalaku ke dalam televisi dan membiarkan perempuan  itu terus meneriakkan Minumlah Masa Lalu, Minumlah Masa Lalu! Tempurung-tempurung yang malang kini terbiar di samping pantatku yang selalu mencari kursi dan duduk berlama-lama dengan diam dan pikiran yang terbang kesana kesini.
Di dalam televisi aku melihat lagi diriku yang duduk dalam lamunan-lamunan nostalgis dan ketaatan yang naif tanpa kemampuan memberontak terhadapnya. Lalu senyap lapar datang—kau!—menelusup diam-diam ke rongga perutku yang kerontang dan makin asam, membuat dongeng-dongeng besar menjadi obat bius yang melenakanku sejenak, kemudian angkuh dingin yang berulang itu kembali dan persetubuhan kalian menjadi aksi subversif yang menghancurkan kenyamananku.Â