Menulis, menulis yang bawa sa tiba di Kompasiana, perintis jurnalisme warga di Indonesia.
Pertama kali menulis di Kompasiana ini sa datang dengan gambar diri yang kabur. Sa ingin menunjukkan siapa saya, tapi bagimana e? Sa ini manusia dari pinggir, udik, hanya pernah belajar sosiologi. Baru apa yang bisa sa tulis?
Sejak itu sa yakin-yakinkan diri supaya menulis dengan istilah-istilah sosiologi, bukan teori. Sa berharap dengan begitu, Udikisme yang melekat di diri ini boleh dibaca dengan pengertian yang berbeda. Sekalian dengan begitu, kam yang hilir mudik di Kompasiana dengan kesadaran manusia kota akan selalu dalam “ingatan yang diteror”: Udikisme masih hidup, dan melawan! Jadi yang lupa diri merasa urban dan modern jang merasa sudah memenangi sejarah macam keyakinan aneh Francis Fukuyama.
Ih, menulis su jadi macam perang saja e..
Tapi kam masih ingat to kalau Bapa Pramoedya pernah bilang menulis sama dengan mengusahakan kemerdekaan. Siapa pu kemerdekaan? Ada dua kemerdekaan, pertama, kemerdekaan yang menulis. Kedua, kemerdekaan mereka, orang-orang kecil, jelata, sengsara, alas kaki, dkk,dll, yang dihinakan dong pu hidup.
Ini ni, gara-gara ikut Bapa Pram pu nasehat, sa selalu ingat-ingatkan diri kalau menulis itu perjuangan untuk merdeka.
Merdeka? Merdeka dari apa? Belanda su pulang, Jepang su pulang, Spanyol juga su pulang. Hanya tinggal Portugis yang juara piala Eropa. Baru merdeka dari apa?
Begini, tong ambil pengertian pertama saja. Menulis itu mengusahakan kemerdekaan penulisnya.
Maksudnya mungkin dengan menulis tong ini bisa melepas beban-beban dalam pikiran dan perasaan. Dengan melepas beban tong bisa melepas stress. Selain itu, dengan menulis untuk melepas beban-beban itu sebenarnya tong juga sedang menarik diri dari hidup yang su terlanjur rutin; berulang berputar tanpa dipikirkan lagi.
Artinya, menurut sa, dengan menulis, manusia melawan dorongan rutinitas yang bikin dirinya jadi kayak robot. Jadi serendah seonggok mesin yang sibuk. Jadi macam zombie pemburu karir yang kerja siang malam sampe pucat. Jadi manusia yang su tidak tahu da pu diri sendiri. Ado e, kasihan sampe.
Makanya itu ada yang bilang menulis da bisa menjadi obat kesedihan. Menulis da juga bisa melepas penat dan kejenuhan. Menulis da juga boleh mengembalikan kewarasan. Syaratnya ya itu tadi di atas: menulis sebagai cara mengusahakan kemerdekaan penulis dari jerat hidup "harian yang busuk".