Pada sebuah pelatihan peningkatan sensitivitas gender, sebuah film kartun diputar oleh si fasilitator. Judulnya Impossible Dream.
Impossible Dream berkisah hidup sehari-hari keluarga batih: ayah, ibu dengan tiga orang anak masih kecil. Anak tertua, lelaki, persis kelakuan ayahnya. Sejak pagi duduk santai seraya tuan besar menunggu sarapan disiapkan. Sedangkan sang Ibu dengan anak perempuannya, banting tulang merapikan piring kotor, lantai dan menyiapkan sarapan. Ditambah lagi harus mengurusi si bungsu yang masih berusia bulanan. Singkat kata, pagi hari adalah kisah tentang urusan domestik.
Sesudah beres, keluarga kecil ini bergegas menjalani harinya di ruang publik. dua anaknya pergi ke sekolah, si bungsu dititipkan pada pengasuh. Sementara ibunya bekerja sebagai buruh rendah pada pabrik konveksi dengan pendapatan kecil. Sang ayah bekerja di sebuah proyek bangunan. Ia menjalankan eskavator dengan gaji dua kali lipat si ibu.
Diceritakan si ibu (selalu) mendapat hardikan dari si bosnya sementara si ayah bekerja santai bahkan masih sempat menggoda perempuan muda. Hingga saat terima gaji tiba, pendapatan si ayah digunakan untuk bersenang-senang dengan pergi ke kedai bir. Sebaliknya, gaji si ibu sebagai buruh rendahan digunakan untuk membiayai kebutuhan rumah.
Tiba waktunya pulang, si ibu harus menjemput dua anak dan si bungsu yang dititipkan pada pengasuh dan pergi ke toko untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Si ayah digambarkan pulang dalam keadaan setengah fly dan sesampai di rumah, seperti tadi pagi, duduk seraya tuan besar bersama anak lelakinya. Ibu dan anak perempuan yang seharian di luar rumah harus merapikan piring kotor sisa sarapan dan menyiapkan makan malam sebelum tidur. Demikian kisah Impossible Dream.
Tibalah saat fasilitator meminta pandangan peserta. Apa yang mereka lihat dari film kartun tersebut dalam kaitannya dengan ketidakadilan gender.
Beberapa perempuan yang hadir secara serentak mengatakan si ayah sungguh-sungguh keterlaluan membiarkan istrinya bekerja seperti itu. Tanggapan fasilitator, beban yang dialami si ibu setiap hari itulah yang disebut sebagai beban ganda. Beban ganda adalah salah satu bentuk ketidakadilan gender. Beberapa lelaki yang hadir pun turut terenyuh dan membenarkan jika perilaku si ayah sudah keterlaluan.
Kondisi seperti itu harus diubah walau beberapa suara dengan “kritis” mengatakan, salah si ibu juga, mengapa diam saja. Penderitaan karena beban ganda tidak bisa dihadapi dengan sikap diam, taat dan patuh. Citra perempuan seperti ini sudah bukan zamannya, imbuh mereka lagi. Para peserta perempuan yang mendengar ini pun bersepakat. Tidak boleh diam dalam situasi ketidakadilan pembagian kerja domestik pun publik.
Sang fasilitator tersenyum. Film kartun barusan ternyata cukup efektif menggugah kesadaran. Padahal pelatihan baru berlangsung sehari dan masih berkutat pada definisi dasar. Sepertinya, batin fasilitator lagi, para peserta cepat menangkap maksud pelatihan.
Tiba-tiba saja, sebuah suara membelah persetujuan yang telah membulat itu. Suara yang mengatakan jika pandangan para peserta yang sudah sepakat tentang beban ganda salah. Kenapa bisa, tanya mereka lagi setengah tidak percaya.
Dengan enteng, peserta lelaki yang menolak bersepakat mengatakan, si ayah tiada salahnya, ibu juga tiada menderitanya. Apa yang dilakukan si ibu semua karena cinta. Karena cintaaa, tegasnya setengah berteriak. Dimana ada cinta, di situ termuat keikhlasan. Cinta tidak tumbuh merawat ketidakadilan.