[caption caption="Sumber gambar: www.n-tv.de"][/caption]Dalam kamar sempit, sebuah apartemen.
Di bawah jendelanya, kota dan warga yang bergumul dalam ironi. Mereka telah membunuh refleksi di altar ketimpangan yang terus menjurang. Sedang di kamar kamar sempit itu, seorang lelaki menjuangkan rindunya.
Hingar bingar dulu sudah lama pergi, meninggalkan kesaksiannya sendiri. Hingar bingar puja yang menemani masa muda di setiap panggung pentas teater. Pentas-pentas penjaga warga kota dari tak berarti. Lelaki itu pernah sebagai nabinya, pembawa cahaya di musim semi di sudut-sudut kota yang sengsara.
Teater telah mati. Dibunuh politisi, diperkosa televisi. Batinnya berkali-kali. Apa yang bisa diruwatnya dalam kamar sempit yang sepi? Teater boleh mati, manusia jangan bunuh diri, yakinnya sendiri.
Diambilnya kotak usang berisi peralatan pentas. Mengambil makeup dan kostum. Merias dirinya, mendekor kamarnya. Menulis naskahnya, memainkan lakonnya dalam sepi. Sesekali ia menertawakan kota yang tak bermakna, seringkali ia menangisi nurani warga yang mati. Mengutuk televisi dengan caci tiada berhenti kemudian terisak sesak mengenang masa-masa menjadi nabi.
Setiap hari, ia bersikukuh melawan ironi dengan monolog sepi. Mengawetkan rindu menjadi nabi kembali. Rindu dari atas kota yang tidak lagi sudi melahirkan nabi. Kota yang memilih membiar ironi tumbuh diruwat mantra politisi. Mantra-mantra pengapling imajinasi. Membayar televisi, membius pikiran-pikiran agar merayakan ketimpangan.
Dalam kamar sempit, sebuah apartemen.
Lelaki yang merindu nabi berjuang melawan ironi yang kini adalah dirinya sendiri.
[2016]
***