Kita tahu sepak bola sudah menjadi industri, bukan saja olahraga. Industri yang berarti banyak melibatkan penggunaan teknologi juga uang di dalam putarannya.
Pada yang pertama, intervensi teknologi, ia memungkinkan manusia mengembangkan sistem atau pendekatan yang merangsang peningkatan kemampuan skill, daya tahan fisik, dan pengetahuan bertanding pemain bola. Sementara dengan intervensi uang, sepak bola menjadi unit ekonomi yang selalu bisa menghasilkan keuntungan berlipat dan membuat pesepak bola masuk ke daftar orang-orang kaya di planet bumi.
Kita boleh juga menduga jika dengan intervensi teknologi serta uang, yang sedang terjadi pada sepak bola adalah semacam “mcdonaldisasi olahraga”. Istilah ini muncul dari permenungan sosiologi George Ritzer manakala ia mengembangkan tesis Max Weber tentang rasionalitas.
Yang dimaksud dengan mcdonaldisasi sepak bola itu adalah ketika jenis rasio instrumental, yang sangat menekanan ketaatan efisiensi, efektivitas, sikap kalkulatif dan kontrol serta pemaksimalan manfaat menjadi sistem nilai atau pendekatan yang sangat dominan dalam olahraga. Jadi ini bukan perkara taktik dalam sepak bola.
Konsekuensinya, olahraga menjadi sistem yang sangat teknis. Ia mengalami rutinisasi nilai instrumental yang membuatnya seperti pabrik mobil. Dalam kuasa nilai seperti ini juga, manusia hanyalah unit, baut penopang, instrumen, komponen atau “sumberdaya”. Dengan kata lain, manusia dengan emosi, hasrat, juga “gairah kebermainannya” seperti dimatikan.
Apa pasalnya gairah kebermainan manusia harus tiada?
Karena emosi, hasrat, gairah dimaknai sebagai sisi yang irrasional maka dari itu akan menjadi perusak displin yang instrumentalis. Kira-kira begitu. Kalau pun tidak begitu, yah namanya juga kira-kira, menduga-duga.
Manusia memang adalah makhluk yang selalu gelisah, bertanya-tanya, dan cemas sekaligus senang bermain. Karenanya juga ia membutuhkan idealisme dalam hidupnya termasuk idealisme dalam bermain sepak bola agar membuat dirinya bermakna.
Saat bersamaan, beberapa dekade terakhir, kita tahu kebutuhan akan idealisme—atau rasa percaya-- tak melulu diturunkembangkan dari ide-ide besar atau kehendak-kehendak yang mengacu pada imej atas superioritas tertentu sebagaimana digilai manusia pencerahan.
Manusia pencerahan yang dikendalikan pikiran instrumentalis lantas merasa boleh mengudeta Tuhan dari pusat penciptaan dan menyerahkan jalan sejarah sepenuhnya pada pemujaan saintisme.
Manusia pencerahan yang kemudian bingung kesepian dan ironisnya, menjadi ketakutan di depan gambar kemajuan yang dibuatnya sendiri. Lantas mencari-cari jenis spiritualisme tertentu sebagai pengisi ruang kosong pada dirinya.