Inilah ilmu hidup di Jakarta dari pedagang bubur yang tidak saya miliki sampai sekarang.Latar pendidikan lebih baik tidak menjamin mampu bertahan di Jakarta, setuju ya?
Selain itu, dalam sudut padang yang "agak politis ketimbang sosiologis", melihat orang-orang kecil ini membuat saya kembali menjumpai denyut hidup yang senyap.Â
Berjumpa mereka kembali mengingatkan pada keberadaan subaltern: mereka yang berserak, jelata, miskin, berpendidikan terbatas, dan terus bertahan namun tidak cukup memiliki saluran untuk bersuara. Dalam tingkat tertentu, mereka dibuat agar tidak bersuara.
Cerita tentang orang-orang kecil seperti ini sejatinya banyak berserak di Jakarta. Beberapa dari mereka mungkin sudah pernah diceritakan di Kompasiana namun tampaknya kalah seru dibandingkan membahas pertarungan politik elit dan tetek bengek kalkulasi menang kalahnya.
Saya memang tidak memiliki cukup teori dan sumber informasi untuk ikut membahas pertarungan elite tersebut.Â
Yang bisa saya lakukan adalah menceritakan bahwa dalam ruang megapolitan sekeras Jakarta, orang-orang kecil ini seringkali diposisikan sebagai penonton dalam pasar malam pilgub. Penonton yang tidak perlu mendapatkan perhatian dari hiruk pikuk kegaduhan tulisan politik.
Saya hanya berharap cerita sekilas ini tidak ikut membuat mereka sebagai penonton di pasar malam tersebut. Saya juga tidak tahu rekomendasi politis-kebijakan apa yang bisa disampaikan kepada kontestan di pilgub nanti.
Saya hanya mau mengingatkan lagi kata-kata dari Ali Sadikin yang dikutip oleh Marco Kusumawijaya dalam tulisannya yang berjudul Jakarta, Sang Metropolis (Jurnal Kalam No 19, 2012). Ali Sadikin pada tahun 1977 pernah bilang begini:
Meskipun akan terdapat perluasan kawasan perkotaan clan pertumbuhan penduduk akan sangat cepat dan segera melewati angka 10 juta, saya harus berhati-hati dalam menggunakan istilah metropolis ataupun megalopolis...Isi kualitatif wilayah Jakarta adalah sangat berbeda dengan metropolis dan megalopolis (di negara maju) yang segalanya serba teknologi tinggi, hiruk-pikuk dan berskala besar.
Mungkin kebesaran Jakarta dalam sepuluh tahun mendatang masih akan berupa kumpulan kepingan-kepingan kecil dengan hanya beberapa komponen di sana-sini saja yang sungguh-sungguh membentuk sistem jaringan perkotaan metropolitan. [...] Kami masih dalam tahapan mengejar kuantitas di segala bidang. Tidak banyak yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan standar pelayanan perkotaan.
Pertanyaannya kemudian, mungkinkah Pilgub di Jakarta 2016 melahirkan pemimpin yang bergerak lebih jauh dari yang diprediksi Ali Sadikin tahun 1977 itu? Tanya kedua, ketika itu semua terwujud, bagaimana dengan orang-orang kecil seperti pedagang bubur?