Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Politik, Provokasi Primordialitas dan Dua Tantangan Sikap

16 Maret 2016   11:03 Diperbarui: 16 Maret 2016   15:57 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Benar bahwa dunia anak adalah dunia bercermin (mirror fase). Karenanya rangkaian peran juga bahasa yang digunakan mereka dalam berinteraksi cenderung mengutip manusia dewasa. Dalam proses ini, dunia anak memang mudah sekali menjadi pertunjukan tiruan, sesuatu yang memang sering terjadi dalam fase internalisasi.

Sebagai orang dewasa yang pernah menjalani dunia anak, yang menjadi relevan dalam kebutuhan menantang provokasi primordial dalam politik adalah kemampuan mengelola ketegangan antara dunia anak yang masih tanpa kategori tadi dan laku peniruan atas orang dewasa agar tidak jatuh pada salah satu ekstrim. Menjadi sepenuh tanpa kategori dalam cara pandang terhadap perbedaan adalah ketidakmungkinan yang niscaya. Demikian juga, terkurung dalam laku peniruan terus menerus adalah kegagalan yang dungu.

Secara praktis, dari pengalaman dunia anak, yang bisa kita rumuskan dalam menghadapi provokasi atribut primordial dalam keriuhan politik adalah:

Pertama, melepas atau memberi tanda kurung (istilah dari perintis fenomenologi, Edmund Husserl) pada seluruh kategori primordial kita sendiri. Memberi tanda kurung ini juga bermaksud agar kita tidak lekas menjustifikasi kelompok atau pribadi tertentu karena gelora prasangka atau karena melayani naluri subhuman yang menjadi energi hitam dalam massa seperti yang ditakuti oleh filsuf Elias Canetti.

Secara praktis, memberi tanda kurung pada kategori pandang sendiri bukan berarti membuang isi subyektif kita secara total. Ini jelas tidak mungkin dilakukan. Yang dimungkinkan dari cara ini adalah menahan sejenak penilaian subyektif kita dan membiarkan kesadaran terbuka berdialog secara aktif dalam perjumpaan dengan kemajemukan kehadiran primordialitas manusia.

Kedua, dalam keberanian menahan prasangka primordial sendiri lantas merelakannya berdialog dalam kemajemukan kehadiran, kita akan didorong secara aktif membangun pengertian-pengertian baru yang lebih kaya dan lebih dewasa memaknai kemajemukan kehadiran. Pengertian yang baru ini tentu tidak semata berasal dari perjumpaan yang langsung namun juga dari pengendapan pembacaan atas teks sejarah, kebudayaan juga hubungan positif agama-agama.

Tantangannya ada pada kemampuan manusia dewasa. Persisnya keberanian manusia dewasa mengelola ketegangan: tidak terjatuh pada “ketiadan kategori cara pandang” yang naif dan saat yang sama sikap tidak lekas terbawa arus massa yang terprovokasi (: bentuk paling mutakhir dari peniruan terus menerus tanpa sikap kiritis).

Sesudah cara pandang dunia anak, cara pandang atau sikap KEDUA yang bisa dijadikan “ujicoba belajar budaya” menghadapi provokasi primordial dalam kompetisi politik yang sakit adalah memberi tanda kurung pada politik itu sendiri.

Memberi tanda kurung bermakna bahwa kita perlu memeriksa seluruh cara pandang atau pengertian yang terlanjur terbentuk, entah melalui media massa, social media, atau juga “sumber-sumber pengetahuan” yang mengitari keseharian kita.

Cara memeriksa cara pandang politik bisa dilakukan dengan banyak cara. Misalnya saja menjumpai orang-orang yang memaknai politik sebagai dunia dimana segala warga negara memiliki hak untuk terlibat berkompetisi di dalamnya. Bisa juga dengan mendiskusikan pikiran dengan penjelasan-penjelasan para ahli tentang kehidupan politik, krisis-krisis yang mengidap padanya, juga alternatif yang dibayangkan bisa memperbaiki atau menggantinya secara baru.

Singkat kata, kita kembali menjadi pembelajar di depan keriuhan politik. Kita memberi jarak terhadap berisiknya politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun