Minggu pertama: terinspirasi puisi
Dari atas kapal, pelabuhan lengang di bawah sana.
“Kenangan dan rindu memaksa pulang ke rumah. Di pelabuhan, sepi menyambut. Rindu apa yang bertahan di sini?”
Aku tidak menjawab tanyamu. Biar saja ia lepas, bergumpal menjadi asin basah di bibirmu. Asin gelisah yang kelak akan kering sendiri. Kuputar pandang, sepi itu bukan milik pelabuhan semata. Sepi telah memiliki seluruh pesisir pantai ini.
Tak ada lagi perahu, tak lagi ada kulit legam berkeringat yang memikul jala dan dayung bersama langkah yang mantap. Laut seperti lukisan purba, pernah ada lalu musnah di bawah terik matahari kekinian. Kitab-kitab lantas menulisnya dalam lemari lupa museum kota. Tidak ada lagi sejarah.
“Kak..kau tak merasa percuma?”
Hidup telah jauh berjalan, laut telah ditimbun. Pembangunan menanam mall, ruko, cafe, salon kecantikan, dan distro yang gelisah. Keturunan nelayan menjadi karyawan dan satpam, atau buruh sampah yang hilir mudik mencari bertahan pada pembangunan yang menanam belanja di tempat tidur mereka. Laut kini lebih sunyi dari pemakaman. Kebanggaan manusia laut mati di dalam mall, cathedral of consumerism.
“Dik, buanglah gundah. Di pelabuhan yang kita tinggal kemarin, katedral serupa telah lama mengasingkan rindu kita. Kita tak punya lagi pelabuhan. Kita kembali untuk mengenang rindu asing itu.”
Di kepalaku, kulihat Amir Hamzah menangis.
***