Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gotong-royong 100 Puisi dan Ajakan Empati Kita

26 Februari 2016   09:57 Diperbarui: 4 April 2017   17:00 1427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"yang fana adalah waktu, kita abadi!" [SDD]

 

Kerja gotong-royong 100 puisi orang-orang kecil ternyata memproduksi karya yang mencapai 200an dengan keterlibatan sekitar 100 Kompasianer. Ini masih perhitungan sementara yang dilakukan oleh DesoL. Yang pasti, ini jumlah karya dan pelibatan diri yang luar biasa! Ini di luar perkiraan. Karenanya kami menyampaikan terimakasih yang tulus untuk kita semua yang sudah meluangkan pikiran, tenaga, waktu dan pulsanya dalam gotong royong puisi tersebut. Yang tidak terlibat, tetap terimakasih karena sudah sudi membaca dan merelakan matanya berjumpa kode [100puisi] yang mungkin menjemukan.

Sekali lagi, salut dan hormat untuk kita semua.

Sesungguhnya 100 puisi ini hanyalah sebuah ajakan, paling kurang rangsangan. Saya dan DesoL kiranya hanya mediator yang mengajak pada kita. Ajakan ini bisa dinilai sebagai panggilan pada nurani untuk menyuarakan hidup orang-orang kecil, menyuarakan hidup kita sehari-hari. Ajakan ini juga bisa dimaknai sebagai panggilan untuk melibatkan puisi ke dalam peristiwa sehari-hari, menjadi realis, tidak mengawang terbang dan mengurung makna dalam kata-katanya sendiri.

Apa maksud puisi yang terlibat dalam peristiwa sehari-hari manusia? Tidakkah puisi hanya lahir dari manusia yang masih hidup dan memiliki hari-harinya sendiri? Atau jangan-jangan, kita tidak sedang menulis puisi karena tidak mengikuti tetek bengek kaidahnya yang terlanjur dibakukan?

Yap, setuju bahwa selama manusia hidup, puisi selalu lahir. Tapi tidak semua hari memungkinkan lahirnya puisi yang melukiskan orang-orang kecil. Tentang kesengsaraan, penderitaan, penghinaan, kekalahan, kemarahan, daya juang dan daya tahan, juga harapan-harapan mereka. Dengan puisi, kita hanya memilih sejenis cara untuk mengungkap itu, bukan otomatis mengubahnya.

Terhadap puisi, saya sendiri tidak memiliki definisi.

Bagi saya segala narasi adalah puisi sejauh ia menggunakan kata-kata yang mengungkapkan keseharian hidup manusia dalam model tutur yang tidak berpanjang-panjang. Puisi bisa mengutamakan estetika kata yang bernyanyi, bisa menyodorkan metafor ganjil yang menghentak. Bisa menyatukan kegetiran dalam parodi yang bikin kita menertawakan penderitaan. Bisa saja menyuguhkan komedi miris yang membuat tertawa sampai menangis. Atau bisa seperti cerpen yang hemat kata dan menggunakan sedikit dukungan riset seperti puisi esai-nya Denny J.A.

Artinya, saya sendiri memang tidak punya pegangan definisi yang pasti. Saya jelas bukan sastrawan, bahkan bukan pembaca-pembuat puisi yang ketat. Satu-satunya alasan pembelaan diri yang naif adalah karena saya menolak bentuk, formasi, dan juga definisi yang tunggal. Maka, kepada para ahli puisi, mohon maafkanlah bila gotong-royong 100 puisi justru dipandang sebagai penghinaan terhadap puisi.

100 puisi dan Ajakan untuk Empati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun