Tak ada yang terlalu filosofis dalam lirik di atas bukan? Terus, apa yang menarik?
Yang menarik adalah cara Solomon Burke menyanyikan bersama aransemen yang mengiringinya. Bila masih tidak percaya, coba saja dengarkan sendiri. Jika dicari padanannya, musisi Indonesia kontemporer yang menurut pendengaran amatir saya memiliki teknik menyanyi serupa pemilik julukan “The King of Rock N Soul” ini adalah Sandhy Sandoro.
Pertanyaan saya kemudian, bagaimana jika internet tak ada, tak ada fasilitas yang menyediakan arsip digital tentang siapa penyanyi Cry To Me? Apalagi kepada saya, yang sedang bermukim di pinggir sungai dan hutan serta bertetangga dengan hewan lucu bernama Bekantan?
Sangat bisa jadi saya hanya akan menikmati sejenis karya siluman, karya yang tidak pernah diketahui siapa pemilik suara di balik senandungnya. Walhasil, saya tidak tersambung dengan masa lalu, lepas dari sejarah karya dan hidup penyanyi-penyanyi besar.
Sebagai amatir-cum-awam, tentu saja saya tidak memiliki riwayat peneliti sejarah musik yang serius. Selain tiada memiliki kehendak dan kemampuan untuk itu, saya juga tidak memiliki cukup fasilitas, seperti perpustakaan dengan koleksi yang super lengkap yang memungkinkan saya bolak-balik menghabiskan waktu berjam-jam hingga berbulan dan bertahun hari seperti seorang Marx mana kala menulis Das Capital.
Dalam pengalaman lain, seperti menulis catatan film, saya juga banyak bersandar dari hasil selancar pada arsip-arsip digital yang menyambung pikiran ke banyak catatan tentang film yang baru saya tonton. Catatan yang diproduksi dari belahan dunia bukan sebatas dari Indonesia. Saya sedikit jadi tahu konteks sejarah yang melatar belakangi sebuah film, baik yang diadaptasi dari novel atau kisah nyata yang sudah terjadi jauh sebelum saya mulai mengeja abjad. Dengan begitu, menyusun catatan film jadi memiliki narasi yang sedikit lengkap.
Pada keterpesonaan terhadap senandung Cry To Me, sesungguhnya hubungan saya dengan musik adalah jenis hubungan yang tanpa judul. Misalnya saja saat ini sedang tergila-gila pada Cry To Me, besok kembali mendendangkan Last Kiss-Pearl Jam dan Unforgiven-Metallica [kok jadi terbaca sarat kegetiran ya?? Aiih]. Lantas pada lusa hari, kembali pada Titip Cintaku-Ona Sutra atau Kesaksian-Kantata Takwa juga Cinta Suci-Teresa Teng (kalau yang ini, saya tahunya gegara tulisan Mas Joko P dan juga pernah disinggung Bang Armand].
Sikap saya jelas: tidak perlu kaku, musik adalah soal merayakan nikmat pendengaran dan sesekali melayani suasana hati. Terhadap internet juga sama, ia salah satu fasilitas yang membantu menyediakan arsip digital dan bukan satu-satunya sumber rujukan.[Siapa juga yang nagih?].
Yang jelas, dari pengalaman menikmati lagu Cry To Me dan mengenali sekilas biografi Solomon Burke dengan menelusuri arsip digital lewat mesin pencari di internet, saya bisa belajar sedikit pengantar terhadap sejarah sebuah karya. Dengan begitu, seperti kalimat pembuka di atas: agar menjadi tahu diri, kita memang perlu berdiri di depan sejarah. Sejarah karya manusia, khususnya.
Begitulah juga adanya dialog saya terhadap Cry To Me-Solomon Burke. Barangkali dengan sedikit pengertian terhadap sejarah lagu dan riwayat hidup penulisnya ini, saya jadi tidak “ngasal” berselera. [Halaaah, sok menunjukkan sikap!].
Eh, mau tahu sedikit lirik Cinta Suci? Begini pembukaannya :