Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Serangan Sarinah" dan tentang Kita

15 Januari 2016   10:09 Diperbarui: 15 Januari 2016   11:23 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber-sumber resmi pemerintahan sudah meminta agar kita tidak menebar spekulasi sana-sini dalam menafsir serangan Sarinah kemarin. Sumber-sumber itu juga menyebutkan jika serangan Sarinah berhubungan dengan perseteruan di dalam ISIS untuk merebut kepemimpinan sel mereka di Asia Tenggara. Juga disebutkan jika situasi sudah terkendali, aparat keamanan juga terus melakukan pengejaran, status siaga satu ditetapkan di seluruh Indonesia dan warga biasa diminta tetap waspada dalam menjalankan aktifitas keseharian.

Karena itu juga, terhadap serangan Sarinah kemarin, saya hanya hendak melihatnya sebagai perseteruan tiga kekuatan besar yang hari ini menjadi tenaga dorong dalam menyusun arah dan masa depan umat manusia; semacam penggambaran lansekap dunia hari ini. Saya tidak membicarakan sumber-sumber pembentuk tiga kekuataan ini secara spesifik, hanya melihat selayang pandang situasi yang sedang bergerak. Sesudahnya, saya mengajak untuk melihat "makna Kita" di dalam teror.

Sudah lama disebutkan jika selain ekonomi kapitalisme dan demokrasi liberal, dan kini, terorisme adalah tenaga dorong sejarah yang meminta diperhatikan. Jika dua yang pertama tampaknya (dibuat) saling menguatkan kehadiran satu sama lain sembari mewartakan optimisme akan arah sejarah, paling kurang menurut Francis Fukuyama atau mungkin juga Samuel Huntington, maka yang terakhir adalah sebuah kehadiran yang sakit, ganjil, dan sengaja berdiri untuk menentang dua yang pertama dengan kehendak yang sama : mengendalikan arah sejarah. Ada kesan posisional yang berhadap-hadapan, namun tidak sedikit juga pikiran yang berani bilang dua yang pertama itu adalah hubungan terlarang yang melahirkan yang ketiga. Lantas sekarang kebingungan untuk “membunuhnya”.

Apa pun debat teoritik itu, yang tampak di mata kita hari ini, mereka bertiga sedang dan akan terus bekerja untuk mengendalikan sejarah manusia. Dua yang pertama jelas sudah menjadi arus utama, dimana-mana ia hadir, apakah dalam regulasi, kontestasi atau pun dan simbolisasi-simbolisasi. Sementara yang ketiga, pada bentuk mutakhir seperti yang dilakoni ISIS, ia juga terus mencoba untuk bisa hadir dimana-mana dan menulis teks sejarahnya sendiri.

Dalam pada itu, kehadiran ekonomi kapitalisme, demokrasi liberal, dan terorisme bisa kita golongkan sebagai kehendak mengendalikan sejarah secara ideologis. Semuanya berangkat dari pergulatan sejarah manusia dan sedang terus merevisi dirinya untuk lebih mumpuni mengendalikan jalan sejarah manusia. Dalam proses revisi tersebut, ia bukan sebatas melibatkan jatuh bangun pemikiran sembari juga memiliki narasi pengkhinatan atas kemanusiaan sendiri-sendiri, ia memiliki tumbal historisnya masing-masing. Benar salah bukan perkara utama, tapi lebih ke soal, siapa yang bisa memenangkan perseteruan.

Jika melihat jejak riwayatnya itu, kita bisa katakan jika Indonesia merupakan salah satu lokasi kultural dimana ketiga teks ini mengambil halaman untuk menuliskan dirinya. Bersama tekanan ekonomi kapitalisme, Indonesia telah mengalaminya sejak zaman merkantilisme-kolonialisme, lalu mengalami polarisasi masa perang dingin, kemudian mengadopsi sejenis state-led development, dan kini mengikuti model regionalisme dalam terang pasar bebas.

Sama juga dengan teks bernama demokrasi liberal, ia terus saja menyempurnakan dirinya melalui pasang surut pertikaian politik hingga memiliki desain sistem seperti sekarang ini. Teks terorisme pun telah ikut menuliskan dirinya mengikuti dinamika global, khususnya yang berasal dari perebutan kontrol dan pengaruh di Timur Tengah, dan terus berusaha menghadirkan dirinya diantara teks ekonomi kapitalisme dan demokrasi liberal itu.

Dalam dinamika perseteruan tenaga dorong yang entah kapan usai ini, bagaimana kita memaknai serangan Sarinah?

Bagi saya, lokasi Sarinah bisa dilihat sebagai adalah panggung kecil dimana dua tenaga dorong utama sudah lama menampilkan dominasi dirinya.

Pertama, sebagai lokasi belanja dan juga ruang menikmati waktu luang kelas menengah urban, Sarinah melambang sebuah keberlimpahan kecil dan perburuan apa yang disebut Slavoj Sizek sebagai nikmat lebih. Nikmat lebih itu tumbuh dalam konsumerisme dan gaya hidup kelas menengah urban; lokasi dari perkembangan kapitalisme lanjut.

Kedua, posisinya yang dekat dengan istana kepresidenan juga melambangkan kehadiran dari kuasa demokrasi liberal yang dirawat dari rangkai pemilu, koalisi dan oposisi politik, yang berujung pada persaingan kontrol politik dalam satu negara modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun