Sebelum siang kemarin, dua kekuatan ini hidup dalam damai dan sibuk, seolah sedang mesra dan baik-baik saja. Pengaruhnya tiada terganggu. Lalu datang tenaga dorong ketiga, teror, yang sudah lama mengirimkan peringatan, dan merusak kedamaian itu melalui pertunjukan kengerian dan ketakutan. Lokasi bisnis dan perkantoran serta salah satu pusat memburu nikmat lebih di Jakarta itu tiba-tiba seperti kehabisan nafas. Waktu yang terburu-buru dan sering sering tidak saling peduli gaya Jakarta tiba-tiba menjadi waktu yang menghimpun segala ketakutan ke dalam kebersamaan.
Kita juga seolah sedang dibawa ke dalam Paris Attack atau bahkan ke citra kota yang lebih tua : kota-kota Cowboy di film Hollywood, kota-kota dimana negara-bangsa modern belum kokoh berkuasa. Negara bangsa yang menjadi bentuk paripurna dalam proses berdemokrasi liberal seperti ditertawakan, saat bersamaan simbolisasi gaya hidup dan perburuan nikmat lebih ala kapitalisme lanjut itu diinjak-injak. Terorisme di Sarinah sedang meneruskan pesan peringatan yang sama : kehadirannya akan terus mengguncang kemapanan eksistensial dari keduanya itu.
Lantas, kini, sesudah serangan Sarinah, ketika aparat negara mulai bergerak mengejar, arus lalu lintas di Jakarta kembali normal, hidup kembali pada sehari-hari yang terburu-buru, rasa apa yang sering naik turun seperti roller coaster itu?
Ada satu rasa. Rasa tentang Kita, makna tentang keterancaman Kita.
Pada kengerian dan ketakutan yang dijajakan teroris dengan ekspresi dingin, hati kita retak-terluka. Sebentar saja serangan itu menarik kembali individu yang terus berserak sibuk sendiri layaknya atom-atom sosial dan kembali bersama-sama merasakan ancaman yang sama lantas berteriak #KamiTidakTakut. Jangan lekas merasa dalam tagar itu, eksisten Kita kembali hadir secara tangguh. Situasi seperti ini bukanlah khas Indonesia, di Paris, sesudah Paris Attack, mereka juga bersatu hati sebagai sebuah bangsa yang berduka. Teror yang keji sudah terbukti membuat rasa berbangsa kembali berhimpun rapat. Ironisnya, rasa berbangsa yang muncul dengan cara seperti ini seringkali juga lekas-lekas buyar ketika hari kembali normal.
Masalahnya, dalam dinamika tiga kekuatan utama tadi, ancaman bukan saja datang melalui aksi-aksi teror biadab. Ancaman bisa datang berupa-rupa dan tak selalu mudah dibaca atau menampakkan dirinya. Ambil misal saja. Demokrasi liberal yang sangat menekankan representasi yang proseduralistik dimana partai menjadi poros utamanya itu, jika terus saja bertindak dalam perseteruan kekanakan blok-blok politiknya, maka yang akan menjadi ujung dari perseteruan mereka adalah keberadaan negara bangsa, bukan saja masa depan partai-partai itu.
Sama juga ketika negara dan bangsa tidak cukup tangguh menjaga keseimbangan mandat sosial di tengah arus besar regionalisme pasar bebas dan kebutuhan modal untuk investasi, ia juga akan menggali sikap-sikap radikal secara perlahan-lahan. Jadi, dalam gambar kayak begini, #KamiTidakTakut itu bukan ditujukan sebatas melawan aksi teror, tetapi juga segala macam ancaman yang datang dari perseteruan politik atau juga perebutan ekonomi. Tegas kata, kita di sini jangan menjadi kita yang terbelah menurut "kelas-kelas ekonomi dan selera politik" dan merasa ancaman nyata itu hanya aksi terorisme.
Yang patut dikhawatirkan, #KamiTidakTakut jangan sampai menjadi ekspresi kebersamaan gaya kerumunan di pasar malam. Pasar malam bubar, bubar pula semuanya. Jangan lupakan, di tengah Serangan Sarinah kemarin, ada kehadiran tenaga dorong kecil yang bertahan untuk terus hadir; tenaga dorong yang melambang kontras yang survive. Mereka adalah putaran ekonomi kecil-jelata yang diwakili oleh pedagang kaki lima, supir bajaj dan tukang ojek yang setiap hari menunggut rupiah dari hilir mudik kelas menengah. Kekuatan kecil yang bergulat dalam kesenyapan mereka sendiri walau tak jarang menjadi “tumbal tak berdosa” dari ledakan perseteruan tiga tenaga dorong tadi.
Kekuatan kecil ini berserak dimana-mana di penjuru Indonesia, bukan saja di pusat-pusat kota, tetapi juga di pinggir-pinggir desa yang kehilangan lahan pertanian dan berganti pabrik atau konsensi perkebunan. Ada banyak pengalaman politik yang menunjukan mereka sering sekali menjadi olok-olok elit dalam demokrasi liberal atau juga kehadiran yang menghadirkan “rasa jijik” kepada mereka yang berdiri di lantai tertinggi imperium kapitalisme. Pada sisi yang lain, berkembang juga kesaksian-kesaksian jika tenaga kecil ini menjadi sasaran dari kolonisasi ideologi teror.
Sudahkah kita benar-benar ada bersama dan merasa terancam bersama mereka?
***