Baru saja, seorang sahabat mengirim sms dengan pertanyaan yang susah-susah mudah dijawab : orang ini dekat dengan saya, kau tahu juga. Ia pernah memfitnah saya, sekarang rajin menghubungi ,haruskah saya maafkan?
Sahabat saya ini seorang yang tulus, turunan generasi suku laut, perantau dari Tenggara Sulawesi. Ia tidak pernah meninggalkan temannya dalam kesengsaraan seorang diri. Saya pernah mengalami hari dimana hanya ada Indomie rasa kari ayam dan gorengan ubi yang dipanaskan seharga sepuluh ribu rupiah sekedar untuk menahan nyeri di lambung, pada sebuah sudut sesak bernama Bukit Duri, Jakarta. Sahabat saya ini, anak muda yang juga mengharamkan untuk pulang dari perantauan pada kota dimana segala tragedi sering mempertunjukan dirinya secara berulang. Ya Jakarta, the necro city!
Ia tiba-tiba bertanya apakah harus memaafkan salah seorang sahabatnya yang memfitnah atau tidak, mungkin karena mengenang percakapan sela kita berdua lewat handphone sore kemarin. Percakapan sela saat saya sedang jeda untuk makan malam dalam perjalanan dari Palangkaraya ke Sampit. Dia menelpon untuk menanyakan kapan waktu saya ke Jakarta, dia ingin berjumpa. Ada rencana yang hendak didiskusikan, sebuah rencana jangka panjang, katanya lagi.
Pembicaraan kemudian meluas, mengenang beberapa teman dan kenangan, termasuk kenangan mengalami fitnahan. Saya mengalaminya, fitnah yang merusak banyak hal dan menghancurkan banyak harap. Dan, tentulah, dia tahu situasi itu.
Yang tidak diketahuinya adalah bagaimana saya memperlakukan fitnah itu. Maka saya ceritakan saja, bercampur dengan lelucon, cara yang saya pilih lakukan.
Menghadapi fitnah, saya hanya bertanya pada Ayah sendiri. tidak kemana-mana, tidak cari siapa-siapa. Bukankah hanya keluarga tempat dimana kita diterima dengan segala macam kekurangan dan kesalahan?
“Pa, bagaimana menghadapi fitnah dari seorang teman dekat?,” tanya saya kala itu, ketika sedang bersama makan siang di rumah, sebuah makan siang yang jarang terjadi. Lelaki pensiunan ini menatap saya dalam-dalam, mungkin dalam hatinya berkata, kena juga kau difitnah, anak lelakiku.
Hanya ini yang dijawabnya, “maafkan dan jangan dekat lagi dengan orang seperti itu.”
Saya diam. Ayah saya terus melanjutkan makan, beliau bahkan tidak bertanya, bagaimana kau difitnah, masalahnya apa, siapa pelakunya. Saya saja yang menyimpulkan, lihat ke dalam dirimu : kau di fitnah dalam pilihan dan pergaulan dimana fitnah mudah sekali dan suatu saat pasti akan datang. Pergaulan dunia politik, itulah dia. Jadi tidak usah meminta waktu untuk mendengar curhatmu.
Saya menerapkan nasehat Ayah. Mencoba memaafkan, menjaga jarak, dan pada akhirnya saya keluar perlahan dari narasi kelam nan traumatik itu. Saya harus bebas dan berani menghadapi pilihan-pilihan yang lebih banyak tersedia di dunia bukan politik. Sampai hari ini, saya berharap telah benar-benar bebas dan "hijrah"; berharap menjadi manusia benar belajar. Karena itu, beberapa ajakan untuk kembali bergiat telah saya tendang ke tempat sampah.
Begitulah saya menghadapinya, cara sederhana tapi berat. Menghadapi sahabat sendiri yang tega menebar fitnah karena gesekan kepentingan sesaat bukan perkara yang mudah. Pernah sulit bersama dalam memperjuangkan mimpi namun karena kalkulasi politik yang pragmatis, semuanya jadi rusak. Tidak ada orang normal yang mengalami situasi ini dengan perasaan yang tidak hancur. Ya begitulah, maka saya bilang ke sahabat saya itu, kadang-kadang menghadapi sahabat yang memfitnah itu seperti memperlakukan mantan pacar saja.