Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memperlakukan Fitnah

3 Januari 2016   18:19 Diperbarui: 3 Januari 2016   19:13 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sampai disini, apakah kepada sahabat saya tadi, saya sedang berbagi soal tips menghadapi fitnah?

Hahaha, tidak. Tidak ada resep praktis, pengalaman saya difitnah hanya seuprit, hanya debu. Bukan apa-apa dan tidak pernah siapa-siapa. Saya sekedar bingung, kenapa manusia sudah tahu fitnah itu bukan saja sebaran bohongan, fitnah juga menghancurkan, fitnah itu keji dan biadab, tapi kok masih juga dilakukan ya?

Saya bertanya begini bukan karena saya sudah melampaui manusia, sudah menjadi super-manusia, sudah bukan kelas manusia mental budak. Saya bukan manusia-manusia besar yang merelakan dirinya difitnah kadang demi menunjukkan kalau masyarakatnya sedang merayakan sakit jiwa. 

Yang terjadi, saya justru cemas, sesekali waktu bisa kembali, karena rasa sakit difitnah itu sejujurnya tidak pernah pergi, ia masih menyala di dasar hati. Sejauh ini yang baru bisa saya lakukan hanya tidak memberi kesempatan rasa sakit itu bercerita, tidak memberi kesempatan ia mengajak ingatan terbenam di dalam kegetirannya sehingga membuat saya mendendam dan merencakan suatu balasan yang lebih menghancurkan. Ya iya, saya sangat mungkin melakukan hal itu karena tahu persis luar dalam manusia yang memfitnah bukan? Saya mungkin bisa lebih cepat dan sadis membalas fitnahan itu, mengapa tidak?

Tapi buat apa? Membalas untuk memuaskan apa? Menuruti hasutan fitnah juga untuk memenangkan apa? Apakah hidup menjadi lebih baik? Apakah dengan memenangkan kepentingan melalui fitnah, terus menjadi lebih berkuasa dan serba mengatur segalanya?

Tidak ada, itu kamuflase semua, semu, omong kosong. Menyebar dan menuruti fitnah hanya sedang menghancurkan diri sendiri. Tidak ada manusia besar dikenang karena gemar memfitnah. Fitnah hanya melahirkan jiwa-jiwa kerdil, termasuk yang ikut terbakar olehnya. Orang semisal ini sesungguhnya sudah mati, atau ia melayani gairah kematian dalam dirinya. Ia sedang membuat sia-sia hidup sendiri yang fana.

Jika sudah teridentifikasi bertemu yang seperti ini atau justru gairah seperti ini telah tumbuh dalam diri sendiri, waspadalah saja : gemar fitnah pasti celaka. Ia pasti celaka bukan nanti karena ditangkap oleh aparatur refresif negara, bukan nanti karena sanksi sosial masyarakat (:kena bully), bukan akan karena kehilangan teman-teman dekatnya, bukan nanti karena pengadilan Ilahi. Itu semua sekunder saja, konsekuensi saja.

Alasan pokoknya karena gemar fitnah atau jiwa yang lekas-lekas terbakar oleh hasut fitnah itu sedang merendahkan dirinya sendiri. Dengan fitnah, ia menginjak akal dan nuraninya sendiri. Ia membuat dirinya tidak pantas disebut manusia, membuat dirinya hidup dalam penjara huru hara psikis.

Lantas, apakah dengan menguliahi para penggemar fitnah maka kita akan jadi lebih baik?

Tidak, tidak ada jaminan. Kita bukan para Nabi yang telah memenangkan mulia kediriannya dari tipu daya duniawi. Kita hanya punya kesempatan untuk memilih,menuruti atau menolak. Akar-akar psikis perilaku fitnah selalu tersedia dalam diri sendiri. Diri sendiri yang tidak pernah melihat ada kebenaran kecil di tempat lain dan tidak pernah menerima jika ada orang lain yang lebih pantas dari kita pada urusan tertentu. Artinya, kita disuruh memilih, ikut serta merayakan gairah merendahkan diri atau menolaknya. Dalam kesempatan memilih itu, kita mungkin harus belajar, menemu-kenali lebih baik lingkungan dan tanda-tanda psikis dari gairah memfitnah. Agar terus waspada sebagai makhluk berbudaya.

Akhirnya, dalam memperlakukan fitnah, bagi saya, kita hanya diberi kesempatan, sejarah hidup manusia dan sedikit warisan pengetahuan, silahkan mau turuti yang mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun