“Aku tidak ingin. Sudah tidak tertarik.”
Dan kau diam. Aku meneguk kopi hitam.
Kau membakar tembakau, aku menghirup gundah dari setiap kepul asapnya.
“Generasi memang sudah jauh berbeda.” Ah, kau terlihat lebih senja, hahaha.
“Membaca buku disangkanya membaca kenyataan. Baru melihat daun, diyakininya sedang melihat hutan. Baru menikmati hujan, dipikirnya sedang memaknai lautan. Keseharian juga jauh dari gunung dan laut, tak kenal kebun dan perahu nelayan.”
Kau sudah mulai merenung.
Jika sudah begini, mulailah aku menatap lantai semen yang pecah dimana-mana.
“Mereka yang dulu sering di sini, makan tidur dan berdiskusi, kini sudah menyebrang kemana-mana. Ada yang masih ingat siapa aku, ada yang sudah lupa, ada yang bahkan kini menyerangku. Aku bahagia, mereka sudah menemukan dunianya. Aku senang pernah berada bersama masa-masa pencaharian mereka walau kini yang tersisa hanyalah lupa, bahkan untuk membelikan sebungkus tembakau buatku.”
Kau menyesali pernah punya murid yang kini lupa dan menjadi durhaka?
“Hei, jangan jauh menduga, aku tidak mengutuk kemiskinanku. Aku pernah lebih sengsara dari ini bukan?”
“Kau tahu aku bisa kaya, lebih melimpah dari yang kau bayangkan bukan?”